Amerika Serikat dengan tegas menolak permintaan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk memperpanjang keberadaan militer Israel di Lebanon Selatan. Washington menegaskan bahwa pasukan Israel harus mundur sebelum tenggat waktu 18 Februari, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya, demikian dilaporkan oleh Jerusalem Post.
Meski Netanyahu berupaya meminta dukungan Presiden Donald Trump agar pasukan Israel tetap bertahan di lima titik strategis perbatasan, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menyatakan bahwa tidak akan ada perpanjangan waktu. “Penarikan pasukan Israel tetap berjalan sesuai jadwal, dan tidak ada permintaan resmi untuk memperpanjang batas waktu,” tegasnya. Sikap ini mengindikasikan adanya pergeseran kebijakan Trump yang semakin tegas terhadap operasi militer Israel di luar Gaza.
Sebelumnya, perjanjian gencatan senjata 60 hari yang dijadwalkan berakhir pada 27 Januari memberi Israel waktu untuk menarik pasukannya. Namun, hingga batas waktu tersebut, Israel belum mundur dengan alasan Angkatan Bersenjata Lebanon belum sepenuhnya dikerahkan di wilayah selatan. AS sempat memberikan tambahan waktu hingga 18 Februari, tetapi kini menolak penundaan lebih lanjut.
Di sisi lain, Lebanon menuduh Israel telah melanggar kesepakatan dan mengajukan protes ke Dewan Keamanan PBB. Media Lebanon melaporkan lebih dari 830 pelanggaran oleh Israel sejak gencatan senjata diberlakukan. Sementara itu, Morgan Ortagus, utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, menegaskan kembali kebijakan AS selama kunjungannya ke Lebanon dan Israel, di mana ia turut meninjau perbatasan utara bersama pejabat militer Israel.
Dalam perjanjian awal, Israel diwajibkan menarik pasukannya seiring dengan pengerahan tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB, sementara kelompok Hizbullah harus mundur ke utara Sungai Litani. Israel mengklaim bahwa Lebanon belum memenuhi kewajiban tersebut, namun Washington memastikan bahwa militer Lebanon akan siap sepenuhnya sebelum batas waktu yang telah disepakati.
Sikap Trump terhadap Lebanon juga menunjukkan adanya perubahan strategi dalam kebijakan luar negerinya, khususnya terkait Iran. Saat menandatangani kebijakan baru tentang sanksi maksimum terhadap Teheran, Trump menunjukkan ketidakinginannya dengan menyatakan, “Saya menandatangani ini, tetapi saya tidak senang melakukannya.” Lebih mengejutkan lagi, ia menegaskan bahwa tidak semua pemimpin Iran menginginkan senjata nuklir, sebuah pernyataan yang bertentangan dengan narasi Netanyahu yang selama ini menggambarkan Iran sebagai ancaman utama bagi stabilitas regional.
Menurut analis Trita Parsi, sikap ini menunjukkan bahwa Trump mungkin lebih tertarik untuk mencari kesepakatan diplomatik dengan Iran daripada sekadar memperketat sanksi. Langkah ini berpotensi mengguncang hubungan AS-Israel dan menggagalkan beberapa agenda strategis Netanyahu di kawasan Timur Tengah.