Rusia dan Amerika Serikat akhirnya menyepakati pembentukan tim perundingan guna mencari solusi dalam menghentikan konflik berkepanjangan di Ukraina. Kesepakatan ini diumumkan pada Selasa (18/2/2025) setelah berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi pertama antara Washington dan Moskwa sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Langkah ini menjadi titik penting dalam dinamika geopolitik global, tetapi sekaligus memicu kekhawatiran dari beberapa pemimpin Eropa, yang khawatir akan adanya perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Kekhawatiran Eropa dan Kekecewaan Ukraina
Negosiasi ini memunculkan pertanyaan besar bagi sekutu Amerika di Eropa. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa Washington mungkin akan memberikan konsesi besar kepada Moskwa, yang berpotensi mengubah keseimbangan keamanan di kawasan, mirip dengan era Perang Dingin. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga meluapkan kekecewaannya atas tidak diundangnya Kyiv dalam pembicaraan tersebut.
“Setiap upaya perundingan yang bertujuan mengakhiri perang seharusnya melibatkan negara-negara Eropa, termasuk Turkiye yang sebelumnya menawarkan diri sebagai tuan rumah perundingan,” ujar Zelensky dengan nada tegas. Salah satu pejabat senior Ukraina yang enggan disebutkan namanya bahkan menyebut negosiasi ini hanya akan menguntungkan Presiden Rusia Vladimir Putin, karena dilakukan tanpa partisipasi langsung dari Ukraina.
Trump Optimistis, Tapi Kritik Ukraina
Presiden Donald Trump, dalam konferensi pers di Mar-a-Lago, Florida, mengungkapkan keyakinannya bahwa pembicaraan ini dapat membawa solusi damai bagi konflik di Ukraina.
“Saya percaya bahwa saya memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang ini,” ujar Trump dengan penuh optimisme. Namun, ia juga melontarkan kritik tajam terhadap Ukraina yang mengeluhkan tidak diundang ke meja perundingan.
“Hari ini saya mendengar, ‘Oh, kami tidak diundang.’ Kalian sudah terlibat dalam konflik ini selama tiga tahun, jadi mengapa harus mengeluh?” kata Trump, menyoroti panjangnya perang yang belum juga menemukan titik terang.
Kesepakatan Rusia-AS dan Prospek Hubungan Diplomatik
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyepakati pembentukan tim perundingan tingkat tinggi yang akan segera bekerja untuk menemukan solusi bagi konflik di Ukraina. Selain itu, kedua negara juga sepakat untuk membangun mekanisme konsultasi dalam rangka memperbaiki hubungan bilateral, yang selama ini mengalami ketegangan akibat berbagai sanksi dan konflik kepentingan di panggung global.
Sementara itu, Yuri Ushakov, penasihat kebijakan luar negeri Presiden Vladimir Putin, mengonfirmasi bahwa Moskwa telah menunjuk perwakilan untuk perundingan ini. Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah Putin dan Trump akan bertemu secara langsung dalam waktu dekat.
Trump sendiri tidak menutup kemungkinan adanya pertemuan tatap muka dengan Putin sebelum akhir bulan ini, meski belum memberikan rincian lebih lanjut.
Moskwa Lihat Peluang Baru Setelah Isolasi Barat
Perundingan di Riyadh, Arab Saudi, dianggap sebagai langkah strategis bagi Rusia, yang dalam tiga tahun terakhir mengalami isolasi dari negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden. Kirill Dmitriev, seorang negosiator ekonomi Rusia, menilai bahwa upaya negara-negara Barat untuk memutus hubungan Rusia dengan dunia internasional telah gagal.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov turut menyuarakan optimisme atas hasil pertemuan ini.
“Kami tidak hanya saling mendengarkan, tetapi juga mulai memahami sudut pandang masing-masing. Saya percaya bahwa pihak Amerika kini lebih memahami posisi Rusia dalam konflik ini,” ujar Lavrov kepada awak media.
Namun, ia juga menegaskan bahwa Moskwa menolak kemungkinan pengerahan pasukan NATO ke Ukraina sebagai bagian dari potensi kesepakatan gencatan senjata.
Dengan perundingan yang mulai bergerak maju, dunia kini menanti bagaimana langkah Rusia dan Amerika Serikat selanjutnya dalam menentukan arah perang di Ukraina. Apakah kesepakatan ini benar-benar bisa membawa perdamaian, atau justru menciptakan babak baru dalam ketegangan geopolitik global?