Categories
Berita Internasional Home

Nawaf Salam Umumkan Kabinet Lebanon, 24 Menteri Akan Bantu Pemerintahan Baru

Setelah proses negosiasi politik yang penuh tantangan dan dinamika, Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, akhirnya mengumumkan susunan kabinet baru pada Sabtu (8/2) waktu setempat. Kabinet tersebut terdiri dari 24 menteri yang diharapkan akan bekerja bersama Salam dalam menghadapi tantangan besar, mulai dari pemulihan ekonomi yang terpuruk hingga pencapaian stabilitas politik di negara yang dilanda krisis ini.

Agenda Besar untuk Reformasi dan Pemulihan

Dalam pidato resminya setelah pengumuman kabinet, Salam menyatakan bahwa pemerintahannya akan mengusung agenda reformasi besar-besaran yang diharapkan dapat menyelamatkan Lebanon dari krisis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Dia menekankan pentingnya untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang selama ini terpuruk akibat korupsi dan ketidakstabilan pemerintahan.

“Reformasi dan penyelamatan negara menjadi komitmen utama kami. Kami bertekad untuk mengembalikan kepercayaan internasional kepada Lebanon,” ungkap Salam dalam sebuah siaran televisi nasional, seperti yang dilaporkan oleh AFP.

Ke depan, Lebanon akan menghadapi sejumlah tugas berat, termasuk menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih transparan guna menarik kembali investor asing serta memperoleh bantuan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Selain itu, Salam juga harus memastikan agar gencatan senjata dengan Israel dan Hizbullah tetap terjaga agar stabilitas politik tetap terpelihara.

Respons Dunia Internasional: Dukungan dan Kekhawatiran

Pengumuman kabinet baru ini mendapat tanggapan beragam dari komunitas internasional. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut mengapresiasi langkah ini, dengan menekankan bahwa rakyat Lebanon berhak memiliki pemerintahan yang efektif dan mampu memberantas korupsi serta melakukan reformasi yang telah lama dinanti-nantikan.

Senada dengan itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Lebanon, Sandra De Waele, juga memberikan dukungan terhadap komitmen Nawaf Salam dalam melaksanakan agenda reformasinya. Ia mengungkapkan bahwa langkah ini akan sangat menentukan bagi masa depan Lebanon yang telah terpuruk sejak krisis ekonomi pada 2019.

Namun, tak hanya dukungan yang diterima. Wakil Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Morgan Ortagus, menyampaikan kekhawatiran terkait keberadaan Hizbullah dalam kabinet yang baru ini. Ortagus menilai bahwa keterlibatan kelompok tersebut dalam pemerintahan bisa berpotensi merusak stabilitas politik Lebanon serta memengaruhi hubungan luar negeri negara tersebut.

Harapan untuk Masa Depan Lebanon yang Lebih Cerah

Lebanon telah lama terjerat dalam krisis politik dan pemerintahan yang berkepanjangan, bahkan mengalami kekosongan kepemimpinan selama lebih dari dua tahun sebelum akhirnya Joseph Aoun terpilih sebagai presiden. Dengan terbentuknya kabinet baru ini, muncul harapan baru bagi Lebanon untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi dan mencapai stabilitas politik yang sudah lama dinanti.

Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, menyebut pembentukan kabinet ini sebagai langkah pertama yang penting menuju masa depan yang lebih cerah bagi Lebanon. Dengan janji reformasi dari Nawaf Salam, komunitas internasional berharap Lebanon dapat membangun kembali kepercayaan global dan mengatasi beragam tantangan yang masih membayangi negara ini.

Meski perjalanan pemulihan Lebanon masih panjang dan penuh rintangan, pembentukan kabinet baru ini memberi harapan segar bagi rakyat Lebanon yang sudah lama mendambakan perubahan nyata. Akankah Nawaf Salam mampu mengembalikan negara ini ke jalur yang benar dan mengakhiri krisis yang berkepanjangan? Semua itu akan terjawab seiring berjalannya waktu.

Categories
Berita Internasional Home

Rusia Soroti Keputusan Trump Tutup USAID: Isyarat Campur Tangan AS ke Negara Lain

Keputusan mengejutkan datang dari pemerintahan Donald Trump yang secara resmi membubarkan Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Langkah ini mendapat respons positif dari Rusia, yang sejak lama menilai USAID sebagai alat intervensi politik global.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyatakan bahwa pembubaran USAID merupakan keputusan yang tepat, mengingat peran badan tersebut dalam urusan politik negara lain.

“USAID bukanlah lembaga bantuan dan pembangunan, melainkan alat untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, mengubah rezim, dan mengutak-atik tatanan politik,” ujar Zakharova, dikutip dari The Moscow Times.

Zakharova juga menegaskan bahwa Rusia telah lama menganggap USAID sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik AS, bukan sekadar lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan.

USAID dan Tuduhan Sebagai Alat Soft Power Amerika

Sejak lama, USAID dipandang sebagai instrumen soft power bagi Amerika Serikat untuk memperluas pengaruhnya di dunia. Bahkan, pada tahun 2012, Rusia sempat mengusir lembaga ini dengan tuduhan terlibat dalam upaya destabilisasi politik, terutama di negara-negara bekas Uni Soviet yang sedang bertransisi menuju demokrasi.

USAID sering dituding terlibat dalam mendanai kelompok pro-demokrasi di berbagai negara, yang oleh beberapa pemerintah dianggap sebagai bentuk intervensi politik terselubung.

Keputusan Trump dan Tudingan dari Elon Musk

Keputusan untuk membubarkan USAID diumumkan oleh Elon Musk, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE) pada Senin (3/2).

Trump juga membekukan semua bentuk bantuan luar negeri selama tiga bulan ke depan, dengan alasan bahwa banyak program tersebut tidak lagi selaras dengan kepentingan Amerika Serikat.

Musk bahkan melontarkan sejumlah tuduhan kontroversial terhadap USAID, menyebutnya sebagai “organisasi kriminal”, “sarang penganut ideologi Marxis-Kiri”, hingga “pendukung senjata biologi”.

Trump pun ikut memperkeruh suasana dengan menyebut lembaga tersebut “dijalankan oleh sekelompok orang gila radikal.”

Nasib USAID dan Dampaknya ke Depan

USAID selama ini mengelola anggaran sebesar $42,8 miliar (sekitar Rp704 triliun) untuk mendanai berbagai program bantuan kemanusiaan dan pembangunan di seluruh dunia.

Namun, akibat kebijakan ini, ribuan pegawai USAID telah kehilangan pekerjaan, sementara tugas lembaga tersebut nantinya akan dialihkan ke Kementerian Luar Negeri AS.

Langkah drastis ini memicu perdebatan global, dengan banyak pihak mempertanyakan apakah keputusan Trump benar-benar akan menguntungkan Amerika Serikat dalam jangka panjang atau justru merugikan citra negara itu di dunia internasional.

Apakah Ini Akhir dari Diplomasi Bantuan AS?

Dengan pembubaran USAID, masa depan diplomasi bantuan luar negeri Amerika Serikat kini berada dalam ketidakpastian. Beberapa pihak mendukung langkah ini sebagai upaya efisiensi anggaran dan menghindari intervensi yang tidak perlu, sementara yang lain khawatir bahwa kebijakan ini akan mengikis pengaruh AS di berbagai negara yang selama ini bergantung pada bantuan tersebut.

Bagaimana menurut Anda? Apakah ini langkah yang tepat atau justru merugikan citra Amerika di dunia?

Categories
Berita Internasional Home

Trump Serukan Relokasi Warga Gaza, Picu Pro dan Kontra

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengusulkan agar warga Palestina yang mengungsi dari Gaza dipindahkan ke wilayah lain yang lebih layak huni, seperti Mesir atau Yordania. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di Ruang Oval pada Selasa (4/2), hanya beberapa jam sebelum pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih.

Trump berpendapat bahwa Gaza telah hancur akibat serangan militer Israel selama lebih dari setahun, sehingga menurutnya, relokasi adalah solusi terbaik bagi warga Palestina.

“Saya memiliki pandangan yang berbeda tentang Gaza dibanding banyak orang. Saya pikir mereka seharusnya mendapatkan tanah yang lebih baik, lebih segar, dan lebih layak huni. Kita bisa meminta beberapa pihak untuk menginvestasikan dana guna membangun tempat yang benar-benar nyaman bagi mereka,” ujar Trump.

Menurutnya, jika ada wilayah yang tepat, dengan dukungan dana yang cukup, maka relokasi akan menjadi solusi yang lebih baik dibanding kembali ke Gaza, yang ia sebut sebagai “situs pembongkaran yang tidak layak huni”.

Mesir dan Yordania Tolak Rencana Relokasi

Trump menyebut bahwa relokasi warga Gaza bisa dilakukan di Mesir atau Yordania, atau di wilayah lain yang dapat dijadikan tempat tinggal yang lebih aman dan layak. Namun, hingga saat ini, baik Mesir maupun Yordania telah berulang kali menolak gagasan untuk menampung lebih banyak pengungsi Palestina.

Gaza sendiri saat ini dihuni oleh lebih dari 2,1 juta orang dalam wilayah seluas 141 mil persegi, menjadikannya salah satu daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia.

Berdasarkan Perjanjian Oslo 1993, baik Gaza maupun Tepi Barat seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan. Namun, konflik berkepanjangan membuat proses perdamaian yang dipimpin AS terhenti selama beberapa dekade.

Potensi Kontroversi di Dunia Internasional

Mengusir paksa warga Gaza dari tanah mereka dapat dianggap sebagai pembersihan etnis menurut hukum internasional. Namun, Trump bersikeras bahwa penduduk Gaza akan lebih memilih meninggalkan wilayah tersebut jika mereka memiliki pilihan yang lebih baik.

“Mereka saat ini tidak punya pilihan. Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka harus kembali ke Gaza. Tetapi jika ada alternatif yang lebih baik, saya yakin mereka lebih memilih untuk pergi,” tegas Trump.

Saat berdiri di samping Netanyahu dalam konferensi pers, Trump menegaskan kembali pernyataannya bahwa warga Gaza sebaiknya tidak kembali ke wilayah yang sudah hancur.

“Mereka hidup seperti di neraka. Gaza bukan tempat layak huni. Satu-satunya alasan mereka ingin kembali adalah karena mereka tidak memiliki alternatif lain,” katanya.

Trump juga mengklaim bahwa jika dirinya yang meminta, Mesir dan Yordania tidak akan menolak permintaan untuk menampung pengungsi Palestina, berbeda dengan jika permintaan itu datang dari Presiden Joe Biden atau pemimpin lainnya.

“Saya tidak yakin mereka akan mengatakan ‘tidak’ kepada saya. Tapi mereka pasti akan menolak Biden atau orang lain,” ucapnya.

Pernyataan Trump ini berpotensi memicu reaksi keras di dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab dan kelompok pro-Palestina yang menolak gagasan relokasi paksa. Sementara itu, Israel dan Palestina masih dalam proses negosiasi terkait gencatan senjata dan masa depan Gaza.