Categories
Berita Internasional Home

Pembangunan Gaza Jadi Prioritas, Mesir Tegaskan Penolakan Relokasi Palestina

Mesir tengah merancang sebuah proposal komprehensif untuk membangun kembali Gaza, dengan tujuan memastikan warga Palestina tetap berada di tanah mereka sendiri. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa langkah ini merupakan upaya nyata untuk mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut dan menolak segala bentuk pemindahan paksa penduduk Palestina.

Rencana tersebut muncul di tengah meningkatnya tekanan dari Presiden AS Donald Trump, yang mengusulkan pemindahan warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Usulan ini mendapatkan penolakan tegas dari negara-negara Arab, termasuk Mesir dan Yordania, yang menilai bahwa solusi terbaik adalah membangun kembali Gaza tanpa mencabut hak penduduknya atas tanah mereka.

Mesir dan Yordania Sepakat Menolak Relokasi

Reuters melaporkan bahwa pernyataan Mesir ini disampaikan setelah Raja Yordania Abdullah II bertemu dengan Presiden Trump. Dalam pertemuan tersebut, Raja Abdullah menegaskan bahwa negaranya menolak rencana pengambilalihan Palestina dan pemindahan penduduknya ke luar wilayah mereka.

Meski demikian, Yordania setuju untuk menerima sekitar 2.000 anak-anak dari Gaza yang membutuhkan perawatan medis mendesak. Kesepakatan ini merupakan bagian dari langkah kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu mereka yang terdampak konflik berkepanjangan di Jalur Gaza.

Rekonstruksi Gaza Jadi Prioritas

Mesir menegaskan bahwa membangun kembali Gaza harus menjadi prioritas utama bagi komunitas internasional. Pemerintah Mesir saat ini sedang menyusun strategi yang akan memungkinkan negara-negara kawasan untuk berkolaborasi dalam upaya rekonstruksi tanpa perlu memindahkan penduduk Palestina.

Dalam pertemuan dengan Trump, Raja Abdullah menekankan bahwa Mesir akan memberikan tanggapannya terhadap situasi ini dan akan membawa diskusi lebih lanjut dalam pertemuan tingkat tinggi di Riyadh. “Mari kita bersabar dan menunggu proposal resmi dari Mesir. Tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang menyangkut nasib banyak orang,” ujar Raja Abdullah.

Trump Ancam Hentikan Bantuan untuk Mesir dan Yordania

Situasi semakin memanas setelah Trump mengancam akan menghentikan bantuan keuangan bagi Mesir dan Yordania jika kedua negara tersebut tidak bersedia menerima pengungsi dari Gaza. Trump juga menegaskan bahwa warga Palestina yang telah meninggalkan Gaza tidak boleh kembali ke wilayah mereka, melainkan harus mencari tempat tinggal baru di negara-negara tetangga.

Pernyataan kontroversial ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari negara-negara Arab yang menilai bahwa pemindahan paksa bukanlah solusi untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Mesir dan Yordania pun tetap pada pendiriannya untuk menolak rencana tersebut dan lebih memilih pendekatan yang berfokus pada rekonstruksi Gaza serta pemulihan kondisi kemanusiaan di sana.

Dengan adanya proposal rekonstruksi yang tengah disusun oleh Mesir, dunia kini menantikan bagaimana negara-negara di kawasan akan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan ini tanpa mengorbankan hak-hak rakyat Palestina atas tanah mereka.

Categories
Berita Internasional Home

Tepi Barat Ganti Nama, Trump Tak Mau Kalah dan Mau Beli Gaza!

Kontroversi terkait Palestina kembali memanas di panggung internasional. Dari rencana Israel mengganti nama Tepi Barat hingga ambisi mantan Presiden AS Donald Trump terhadap Gaza, berbagai perkembangan ini menjadi perhatian dunia.

Berikut rangkuman berita internasional terbaru:

Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea-Samaria

Pemerintah Israel semakin memperkuat kontrolnya di Tepi Barat dengan meloloskan rancangan undang-undang untuk mengganti nama wilayah tersebut menjadi Yudea-Samaria.

RUU ini disahkan oleh Komite Kabinet Parlemen Israel pada Minggu (9/2). Simcha Rothman, seorang anggota parlemen sayap kanan, mengatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk menyeragamkan penggunaan istilah Yudea-Samaria dalam hukum Israel.

“Mengganti istilah Tepi Barat dengan Yudea-Samaria akan mencerminkan pengakuan hukum atas hak historis bangsa Yahudi atas tanah tersebut dan mengoreksi distorsi sejarah,” ujar Rothman, dikutip dari Matzav.

Keputusan ini menuai kecaman dari komunitas internasional, terutama Palestina dan negara-negara Arab, yang menganggapnya sebagai bagian dari upaya aneksasi wilayah Palestina.

Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Ada Apa?

Mantan Presiden AS Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait Jalur Gaza. Ia menyatakan bahwa AS harus membeli dan memiliki Gaza, sekaligus mengawasi proses rekonstruksinya.

“Saya berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza. Untuk pembangunan kembali, mungkin kami akan menyerahkannya ke negara lain di Timur Tengah atau pihak lain di bawah pengawasan kami. Namun, kami ingin mengambil alihnya dan memastikan Hamas tidak kembali,” ujar Trump, dikutip dari Reuters.

Trump bahkan menyebut Gaza sebagai “situs real estate besar”, yang memicu reaksi keras dari Palestina dan negara-negara Arab. Banyak yang menganggap pernyataan ini sebagai bentuk arogansi politik dan pengabaian terhadap hak rakyat Palestina.

Netanyahu Sarankan Palestina Dipindahkan ke Arab Saudi, Dunia Arab Murka

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memicu kemarahan negara-negara Arab setelah mengusulkan agar Palestina mendirikan negara di Arab Saudi.

Dalam wawancara dengan Channel 14 Israel, Netanyahu berpendapat bahwa Arab Saudi memiliki cukup lahan untuk menampung warga Palestina yang ingin bernegara sendiri.

“Saudi bisa mendirikan negara Palestina di Arab Saudi, mereka punya banyak tanah di sana,” katanya, dikutip dari Anadolu Agency pada Minggu (9/2).

Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang menolak gagasan tersebut. Mereka menegaskan bahwa Palestina berhak atas tanah mereka sendiri dan solusi yang diusulkan Netanyahu dianggap sebagai upaya untuk menghapus eksistensi Palestina dari peta dunia.

Dunia Memantau Perkembangan Palestina

Situasi di Palestina semakin kompleks dengan adanya berbagai usulan dan kebijakan yang kontroversial. Dunia internasional kini menanti langkah selanjutnya, apakah konflik ini akan semakin memanas atau ada solusi diplomatik yang dapat mengakhiri ketegangan.

Categories
Berita Internasional Home

Nawaf Salam Umumkan Kabinet Lebanon, 24 Menteri Akan Bantu Pemerintahan Baru

Setelah proses negosiasi politik yang penuh tantangan dan dinamika, Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, akhirnya mengumumkan susunan kabinet baru pada Sabtu (8/2) waktu setempat. Kabinet tersebut terdiri dari 24 menteri yang diharapkan akan bekerja bersama Salam dalam menghadapi tantangan besar, mulai dari pemulihan ekonomi yang terpuruk hingga pencapaian stabilitas politik di negara yang dilanda krisis ini.

Agenda Besar untuk Reformasi dan Pemulihan

Dalam pidato resminya setelah pengumuman kabinet, Salam menyatakan bahwa pemerintahannya akan mengusung agenda reformasi besar-besaran yang diharapkan dapat menyelamatkan Lebanon dari krisis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Dia menekankan pentingnya untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang selama ini terpuruk akibat korupsi dan ketidakstabilan pemerintahan.

“Reformasi dan penyelamatan negara menjadi komitmen utama kami. Kami bertekad untuk mengembalikan kepercayaan internasional kepada Lebanon,” ungkap Salam dalam sebuah siaran televisi nasional, seperti yang dilaporkan oleh AFP.

Ke depan, Lebanon akan menghadapi sejumlah tugas berat, termasuk menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih transparan guna menarik kembali investor asing serta memperoleh bantuan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Selain itu, Salam juga harus memastikan agar gencatan senjata dengan Israel dan Hizbullah tetap terjaga agar stabilitas politik tetap terpelihara.

Respons Dunia Internasional: Dukungan dan Kekhawatiran

Pengumuman kabinet baru ini mendapat tanggapan beragam dari komunitas internasional. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut mengapresiasi langkah ini, dengan menekankan bahwa rakyat Lebanon berhak memiliki pemerintahan yang efektif dan mampu memberantas korupsi serta melakukan reformasi yang telah lama dinanti-nantikan.

Senada dengan itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Lebanon, Sandra De Waele, juga memberikan dukungan terhadap komitmen Nawaf Salam dalam melaksanakan agenda reformasinya. Ia mengungkapkan bahwa langkah ini akan sangat menentukan bagi masa depan Lebanon yang telah terpuruk sejak krisis ekonomi pada 2019.

Namun, tak hanya dukungan yang diterima. Wakil Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Morgan Ortagus, menyampaikan kekhawatiran terkait keberadaan Hizbullah dalam kabinet yang baru ini. Ortagus menilai bahwa keterlibatan kelompok tersebut dalam pemerintahan bisa berpotensi merusak stabilitas politik Lebanon serta memengaruhi hubungan luar negeri negara tersebut.

Harapan untuk Masa Depan Lebanon yang Lebih Cerah

Lebanon telah lama terjerat dalam krisis politik dan pemerintahan yang berkepanjangan, bahkan mengalami kekosongan kepemimpinan selama lebih dari dua tahun sebelum akhirnya Joseph Aoun terpilih sebagai presiden. Dengan terbentuknya kabinet baru ini, muncul harapan baru bagi Lebanon untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi dan mencapai stabilitas politik yang sudah lama dinanti.

Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, menyebut pembentukan kabinet ini sebagai langkah pertama yang penting menuju masa depan yang lebih cerah bagi Lebanon. Dengan janji reformasi dari Nawaf Salam, komunitas internasional berharap Lebanon dapat membangun kembali kepercayaan global dan mengatasi beragam tantangan yang masih membayangi negara ini.

Meski perjalanan pemulihan Lebanon masih panjang dan penuh rintangan, pembentukan kabinet baru ini memberi harapan segar bagi rakyat Lebanon yang sudah lama mendambakan perubahan nyata. Akankah Nawaf Salam mampu mengembalikan negara ini ke jalur yang benar dan mengakhiri krisis yang berkepanjangan? Semua itu akan terjawab seiring berjalannya waktu.

Categories
Berita Internasional Home

Pangeran Arab Saudi Sebut Rencana Trump di Gaza sebagai Pembersihan Etnis

Pangeran Turki al-Faisal, anggota senior keluarga kerajaan Arab Saudi, dengan tegas mengecam rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terkait pengambilalihan Jalur Gaza, Palestina. Turki al-Faisal, yang juga mantan kepala dinas intelijen Arab Saudi, menggambarkan ide Trump tersebut sebagai upaya pembersihan etnis yang tidak dapat diterima oleh komunitas internasional. “Apa yang diungkapkan Trump sangat sulit diterima. Saya merasa tidak pantas menambahkan komentar lebih lanjut, namun tidak ada cara untuk membenarkan pembersihan etnis di abad ke-21,” ujar Pangeran Turki al-Faisal.

Kritik ini muncul setelah Trump, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa malam, mengungkapkan pandangannya tentang Gaza. Trump menyarankan bahwa wilayah tersebut sebaiknya dihancurkan dan mengusulkan agar warga Palestina yang tinggal di Gaza dipindahkan ke berbagai negara untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Selain itu, Trump juga mengisyaratkan kemungkinan pengerahan pasukan AS jika situasi memburuk. Sementara itu, Netanyahu menyambut baik rencana tersebut, yang segera menuai kecaman dari berbagai pihak internasional, termasuk Arab Saudi.

Pangeran Turki al-Faisal menegaskan bahwa akar masalah Palestina bukanlah pada rakyatnya, melainkan pada pendudukan Israel yang sudah berlangsung lama. “Ini adalah pendudukan oleh Israel, dan hal ini sudah jelas diakui oleh dunia,” katanya. Meskipun AS dan Israel berharap untuk mempererat hubungan dengan Arab Saudi, Riyadh tetap teguh pada prinsipnya bahwa hubungan diplomatik tidak akan terjalin tanpa adanya negara Palestina dengan perbatasan 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Menanggapi tawaran Trump untuk mengunjungi Riyadh jika Arab Saudi berinvestasi lebih banyak di AS, Pangeran Turki al-Faisal berpendapat bahwa jika Trump benar-benar datang, ia akan menerima teguran keras dari para pemimpin Arab. “Jika dia datang ke sini, dia akan mendengar kritik tajam tentang kebijakan yang ia usulkan, yang justru akan memperburuk keadaan, menciptakan lebih banyak konflik dan pertumpahan darah,” tambahnya.

Pangeran Turki juga mengkritik keras Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional Israel, yang disebutnya sebagai “pembersih etnis terbesar di Palestina.” Ben-Gvir, yang selama ini mendukung pemindahan warga Palestina, kini mendukung pandangan Trump, yang menurut Pangeran Turki, tidak dapat dibenarkan.

Pangeran Turki al-Faisal mengantisipasi adanya tindakan kolektif dari negara-negara Arab, Muslim, Eropa, dan pihak lain yang mendukung solusi dua negara, yang akan mendesak PBB untuk mengambil langkah terhadap rencana Trump. Meskipun hak veto AS di PBB bisa menghambat resolusi, Pangeran Turki berharap dunia akan bersatu menentang ide tersebut. “Ini adalah upaya pembersihan etnis yang gila, dan dunia harus menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa diterima,” ujarnya.

Categories
Berita Internasional Home

Pemakzulan Sara Duterte Gegerkan Filipina, Ini Alasan Utamanya

Dunia politik Filipina kembali bergejolak setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan pemakzulan Wakil Presiden Sara Duterte pada Rabu (5/2). Keputusan ini diambil setelah sebanyak 215 anggota DPR memberikan suara setuju terhadap mosi pemakzulan, jauh melampaui ambang batas yang diperlukan.

Ketua DPR Filipina, Martin Romualdez, mengonfirmasi bahwa pemakzulan ini telah disetujui dan kini tinggal menunggu keputusan akhir dari Senat Filipina. Untuk mencopot Sara Duterte dari jabatannya, setidaknya dua pertiga dari total 24 senator harus memberikan suara mendukung pemakzulan tersebut.

Alasan Pemakzulan Sara Duterte

Mosi pemakzulan yang diajukan DPR Filipina terhadap Sara Duterte didasarkan pada enam tuduhan utama, yang mencakup dugaan pelanggaran terhadap Konstitusi 1987, Undang-Undang Anti Korupsi dan Praktik Korupsi, serta berbagai peraturan lainnya.

Beberapa tuduhan yang paling serius di antaranya adalah:

  1. Dugaan Konspirasi Pembunuhan Presiden
    Salah satu tuduhan paling mengejutkan adalah dugaan bahwa Sara Duterte merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Ferdinand Marcos Jr., Ibu Negara Liza Araneta-Marcos, dan Ketua DPR Martin Romualdez. Pernyataannya yang menyebut bahwa ia “membayangkan” memenggal kepala presiden memicu kekhawatiran besar terkait keamanan nasional.
  2. Penyalahgunaan Dana Publik
    Sara Duterte dituduh mencairkan dan menggunakan dana rahasia senilai 612,5 juta peso Filipina (sekitar Rp172 miliar) secara ilegal selama menjabat sebagai Wakil Presiden dan Menteri Pendidikan. DPR menilai pengelolaan dana tersebut dilakukan tanpa transparansi dan melanggar regulasi keuangan negara.
  3. Skandal Suap dan Manipulasi Keuangan
    Wakil Presiden Filipina ini juga diduga terlibat dalam praktik suap dan manipulasi anggaran di Kementerian Pendidikan, di mana ia disebut menyetujui pemberian hadiah uang tunai dan suap kepada pejabat yang menangani proses pengadaan barang dan jasa.
  4. Tidak Melaporkan Aset dan Kekayaan
    DPR menuduh Sara Duterte tidak melaporkan seluruh aset dan sumber pendapatannya selama menjabat sebagai pejabat publik. Tercatat, kekayaan bersihnya mengalami lonjakan hingga empat kali lipat dalam kurun waktu 2007 hingga 2017.
  5. Kaitan dengan Davao Death Squad (DDS)
    Selain kasus-kasus keuangan, Sara Duterte juga diduga memiliki keterlibatan dengan kelompok Davao Death Squad (DDS)—sebuah organisasi yang dikenal melakukan eksekusi di luar hukum saat ia menjabat sebagai Wali Kota Davao City.
  6. Serangkaian Aksi Politik Kontroversial
    Beberapa tindakan politik yang dilakukan oleh Sara Duterte juga menjadi bahan pemakzulan, termasuk:
    • Memboikot pidato kenegaraan dengan menyatakan dirinya sebagai “calon korban selamat”.
    • Memimpin demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Marcos Jr.
    • Mendukung pendeta buron Apollo Quiboloy yang tengah dicari karena kasus pelecehan.
    • Menghalangi investigasi Kongres terkait berbagai dugaan pelanggaran yang menyeret namanya.
    • Mengancam melakukan kekerasan fisik terhadap Presiden, Ibu Negara, dan Ketua DPR.

Langkah Selanjutnya: Menunggu Putusan Senat

Dengan telah disahkannya pemakzulan oleh DPR, kini keputusan akhir berada di tangan Senat Filipina. Jika setidaknya 16 dari 24 senator memberikan suara mendukung pemakzulan, maka Sara Duterte akan resmi diberhentikan dari jabatannya dan dilarang kembali menduduki posisi politik.

Namun, proses ini kemungkinan tidak akan berlangsung dalam waktu dekat. Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, menyatakan bahwa Senat baru akan menangani kasus pemakzulan ini setelah Kongres kembali bersidang pada bulan Juni pasca pemilu paruh waktu.

Dampak Pemakzulan bagi Politik Filipina

Pemakzulan ini memperlihatkan semakin tajamnya persaingan politik antara klan Duterte dan Presiden Marcos Jr.. Meskipun Marcos menegaskan bahwa ia tidak mendukung pemakzulan Sara Duterte, banyak sekutunya di DPR yang justru memberikan dukungan penuh terhadap langkah ini.

Sementara itu, keluarga Duterte, termasuk Paolo Duterte (anggota DPR sekaligus saudara Sara Duterte), mengecam pemakzulan ini sebagai upaya politik untuk menghancurkan reputasi mereka.

Jika Senat Filipina mengesahkan pemakzulan ini, Sara Duterte akan menjadi pejabat tertinggi kedua dalam sejarah Filipina yang dicopot dari jabatannya setelah mantan Presiden Joseph Estrada pada tahun 2000. Selain kehilangan jabatannya, ia juga berisiko dilarang seumur hidup untuk terlibat dalam politik Filipina.

Kasus ini akan menjadi ujian besar bagi sistem demokrasi Filipina, sekaligus menandai tantangan besar bagi dinasti politik Duterte yang selama ini dikenal memiliki pengaruh besar di negara tersebut.

Kesimpulan

Pemakzulan Sara Duterte menambah daftar panjang dinamika politik di Filipina yang kerap diwarnai konflik antar elite. Dengan tuduhan serius yang mengarah kepadanya, masa depan politik Sara kini bergantung pada keputusan Senat dalam beberapa bulan ke depan. Apakah ia akan benar-benar dicopot, atau justru mampu bertahan dari badai politik ini? Jawabannya masih dinanti.

Categories
Berita Internasional Home

Bertemu Netanyahu, Trump Sebut AS akan Ambil Alih Jalur Gaza

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa AS berencana untuk mengambil alih Jalur Gaza dan melakukan rekonstruksi besar-besaran di wilayah tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers usai pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Selasa (4/2).

“Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza dan kami akan bekerja di sana,” ujar Trump sambil berdiri di samping Netanyahu.

Trump menegaskan bahwa Washington akan bertanggung jawab dalam membersihkan wilayah tersebut dari bom yang belum meledak dan menghancurkan seluruh persenjataan yang masih ada. Selain itu, ia juga berencana untuk meratakan bangunan yang hancur serta membangun kembali infrastruktur di wilayah tersebut.

Rencana Pembangunan dan Relokasi Penduduk Gaza

Dalam pernyataannya, Trump juga mengungkapkan bahwa AS berencana membangun kembali perekonomian Gaza, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan dan perumahan dalam jumlah besar bagi penduduk yang terdampak konflik.

Pertemuan antara Trump dan Netanyahu berlangsung di Gedung Putih dengan agenda utama membahas masa depan Gaza, termasuk potensi gencatan senjata serta rencana relokasi penduduk Palestina.

Diskusi ini berlangsung di tengah negosiasi fase kedua gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang hingga kini masih dalam pembicaraan.

Kontroversi Soal Relokasi Warga Palestina

Salah satu poin yang dibahas dalam pertemuan ini adalah wacana pemindahan warga Gaza ke negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Mesir dan Yordania.

Trump sebelumnya telah beberapa kali menyatakan keinginannya agar warga Gaza direlokasi, tetapi usulan ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. Mesir dan Yordania secara resmi menolak gagasan tersebut, sementara Otoritas Palestina mengecamnya sebagai upaya pengusiran paksa rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.

Pernyataan Trump ini diprediksi akan memicu reaksi tajam di dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab dan kelompok pro-Palestina yang menilai rencana ini dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.

Dengan situasi yang masih penuh ketidakpastian, dunia kini menunggu bagaimana reaksi dari pihak-pihak terkait, terutama setelah pernyataan kontroversial Trump mengenai ambisi Amerika untuk mengendalikan Gaza.

Categories
Berita Internasional Berita Nasional Home

Kemlu: Tidak Ada Komunikasi Resmi dengan Hamas Terkait Tahanan Palestina

Kelompok Hamas baru-baru ini mengungkapkan bahwa mereka telah berkomunikasi dengan beberapa negara, termasuk Indonesia, mengenai kemungkinan penampungan bagi para tahanan Palestina yang dibebaskan oleh Israel. Namun, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) memberikan klarifikasi bahwa hingga saat ini, belum ada komunikasi resmi terkait masalah ini.

Kemlu RI menegaskan, “Hingga saat ini, tidak ada komunikasi resmi melalui jalur diplomatik antara Indonesia dan pihak terkait mengenai isu tersebut.” Mereka juga menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia terus berkomunikasi dengan Palestinian National Authority (PNA), yang memegang otoritas pemerintahan Palestina.

Sebelumnya, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa Pakistan merupakan salah satu dari empat negara yang telah setuju untuk menampung para tahanan Palestina yang dibebaskan melalui proses pertukaran sandera. Negara-negara lain yang dilaporkan siap menampung adalah Turki, Qatar, dan Malaysia. Namun, Kemlu RI mengonfirmasi bahwa Indonesia belum mengambil langkah terkait penampungan tersebut.

Kesepakatan gencatan senjata enam minggu yang mengakhiri perang selama 15 bulan antara Israel dan Hamas termasuk pengembalian pengungsi Palestina ke Gaza utara dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Gaza tengah. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Hamas berjanji untuk membebaskan 33 sandera Israel, yang mencakup wanita, anak-anak, dan pria di atas 50 tahun, sementara Israel setuju membebaskan 30 tahanan Palestina untuk setiap sandera sipil dan 50 tahanan Palestina untuk setiap tentara wanita Israel yang dibebaskan.

Proses pembebasan tahanan ini sudah dimulai, dengan 99 orang telah dideportasi ke Mesir, sementara 263 tahanan lainnya diperkirakan akan dibebaskan dalam tahap selanjutnya. Selain itu, laporan dari kantor berita Palestina Quds Press menyebutkan bahwa 15 tahanan Palestina telah tiba di Turki pada Selasa (4/2/2025) setelah sebelumnya dideportasi dari Kairo, Mesir.

Perhatian publik Indonesia kini tertuju pada perkembangan lebih lanjut terkait keterlibatan negara dalam penampungan tahanan Palestina, meskipun Kemlu RI menegaskan bahwa keputusan resmi terkait masalah ini belum diambil.