Donald Trump resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) untuk periode kedua pada 20 Januari 2025. Sejumlah kebijakan baru langsung diterapkan, termasuk keputusan menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan aturan kewarganegaraan bagi bayi yang lahir di AS, kebijakan perdagangan proteksionis, serta evaluasi ulang terhadap bantuan luar negeri.
Langkah-langkah ini menuai reaksi keras dari berbagai negara dan organisasi internasional. WHO menyatakan penyesalannya atas keputusan AS mundur dari organisasi tersebut, menekankan bahwa WHO berperan penting dalam menjaga kesehatan global, termasuk bagi warga AS sendiri. Uni Eropa dan China juga mengkritik keputusan AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris, menegaskan bahwa kerja sama internasional sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan iklim.
Di dalam negeri, 22 negara bagian AS menggugat perintah eksekutif Trump yang menghentikan kewarganegaraan otomatis bagi bayi yang lahir di AS. Jaksa Agung dari berbagai negara bagian menyebut kebijakan ini inkonstitusional dan berpotensi mencabut hak kewarganegaraan ribuan bayi yang lahir di AS setiap tahun.
Sementara itu, kebijakan Trump untuk merelokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania mendapat kecaman keras dari Palestina dan berbagai negara, termasuk Indonesia, Inggris, Jerman, dan negara-negara Arab. Palestina menegaskan bahwa rakyatnya tidak akan meninggalkan tanah air mereka dan menolak segala upaya yang dapat mengubah peta wilayah mereka.
Di bidang ekonomi, kebijakan tarif impor baru Trump terhadap China, Kanada, dan Meksiko memicu ketegangan dagang. China mengancam akan melakukan pembalasan, sementara Uni Eropa menilai kebijakan ini merusak perdagangan global dan meningkatkan inflasi.
Dengan berbagai kebijakan kontroversialnya, periode kedua kepemimpinan Trump telah memicu ketegangan global yang berpotensi mengubah lanskap politik dan ekonomi dunia.