Categories
Berita Internasional Home

Putin Siap Hentikan Perang dengan Ukraina, tapi Tak Tanpa Syarat

Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyatakan kesediaannya untuk menerima usulan gencatan senjata dengan Ukraina yang diajukan oleh Amerika Serikat. Namun, ia menegaskan bahwa setiap kesepakatan yang dibuat harus mampu menyelesaikan akar permasalahan dari konflik yang berlangsung. Hal ini disampaikan Putin dalam konferensi pers bersama Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, di Moskow pada Kamis (13/3).

“Kami tidak menolak gagasan untuk menghentikan pertempuran. Namun, kami berpandangan bahwa penghentian ini harus mengarah pada perdamaian jangka panjang dan menuntaskan sumber utama dari krisis ini,” ujar Putin.

Selain itu, Putin menegaskan bahwa Rusia selalu terbuka terhadap solusi damai dalam mengakhiri perang. Ia juga mengapresiasi perhatian yang diberikan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap upaya penyelesaian konflik ini.

Putin menyebut bahwa Rusia akan menilai langkah-langkah selanjutnya berdasarkan perkembangan situasi di lapangan. Ia menyoroti pentingnya komunikasi dengan pihak Amerika terkait wacana gencatan senjata ini.

“Saya kira perlu ada pembicaraan lebih lanjut dengan pihak Amerika, mungkin dengan Presiden Trump secara langsung,” tambahnya.

Meskipun menyatakan kesepakatan awal terkait usulan gencatan senjata, Putin menyoroti tantangan dalam implementasi perjanjian tersebut. Menurutnya, pemantauan terhadap gencatan senjata menjadi sulit karena panjangnya perbatasan antara Rusia dan Ukraina.

Putin juga menilai bahwa kesepakatan gencatan senjata 30 hari yang diterima oleh Ukraina bisa menjadi keuntungan bagi mereka.

Sebelumnya, Ukraina telah menyatakan kesiapan untuk mendukung gencatan senjata selama 30 hari dengan Rusia. Kesepakatan ini dibahas dalam pertemuan yang berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, antara delegasi pemerintahan Presiden Volodymyr Zelensky, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, serta perwakilan negara lainnya.

Sejak Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada Februari 2022, konflik berkepanjangan terus terjadi dengan pertempuran di berbagai wilayah. Berbagai pihak di komunitas internasional telah mendesak agar kedua negara segera mencapai gencatan senjata, meskipun belum ada satu pun proposal damai yang benar-benar diterima secara penuh oleh kedua belah pihak.

Dengan adanya kesepakatan ini, harapan akan perdamaian semakin terbuka. Namun, tantangan dalam merealisasikan gencatan senjata tetap menjadi perhatian utama bagi Rusia, Ukraina, dan komunitas internasional.

Categories
Berita Internasional Home

Drama di Gedung Putih! Zelensky Diusir, AS Tetap Minta Maaf

Hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Ukraina kembali diperburuk setelah insiden cekcok mulut antara Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dan Presiden AS, Donald Trump, yang terjadi di Ruang Oval, Gedung Putih pada Jumat (28/2). Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa Zelensky seharusnya meminta maaf atas kekacauan yang ditimbulkan selama pertemuan tersebut.

Rubio menilai pertemuan antara kedua pemimpin negara itu sebagai sebuah kegagalan. Menurutnya, sikap agresif yang ditunjukkan Zelensky selama diskusi mengenai perdamaian dengan Rusia justru semakin memperburuk situasi. “Dia tidak perlu datang dan bertindak antagonis. Jika Anda memulai pembicaraan dengan sikap agresif, terutama dengan seorang Presiden yang dikenal sebagai pembuat kesepakatan, itu tidak akan menciptakan kondisi yang mendukung negosiasi,” ujar Rubio.

Pernyataan Rubio semakin menegaskan ketegangan yang melanda hubungan antara AS dan Ukraina, yang semakin memanas setelah momen penting ini. Rubio bahkan mempertanyakan keseriusan Zelensky dalam mencapai perdamaian dengan Rusia, yang hingga saat ini masih menduduki sebagian wilayah Ukraina. “Zelensky mengatakan bahwa dia menginginkan perdamaian, tapi apakah dia benar-benar menginginkannya? Mungkin saja tidak,” tambah Rubio.

Pertemuan yang dimaksud berlangsung setelah kedatangan para pemimpin Inggris dan Prancis di Washington, yang bertujuan untuk mendesak AS agar memainkan peran lebih aktif dalam menengahi konflik Ukraina-Rusia. Namun, pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil yang memadai, baik mengenai akses AS terhadap mineral tanah jarang Ukraina maupun mengenai potensi perjanjian damai dengan Rusia.

Insiden Memanas di Ruang Oval

Insiden cekcok yang terjadi di Gedung Putih bermula saat Zelensky dan Trump bertemu untuk mendiskusikan perjanjian yang mencakup akses Amerika Serikat ke sumber daya mineral tanah jarang Ukraina serta jaminan keamanan bagi Ukraina. Namun, ketegangan mulai muncul ketika pembicaraan beralih ke topik perundingan damai dengan Rusia.

Trump, bersama dengan Wakil Presiden AS, JD Vence, mulai berteriak kepada Zelensky, menuduhnya tidak bersyukur atas bantuan yang diberikan AS selama tiga tahun terakhir. Situasi semakin memanas ketika Trump mengancam untuk menarik diri dari Ukraina, yang selama ini telah menjadi sekutu utama bagi Amerika Serikat. “Ukraina harus membuat kompromi dalam perundingan damai dengan Rusia,” kata Trump, menuntut agar negara tersebut mempertimbangkan negosiasi dengan pihak yang telah menginvasi wilayah mereka.

Namun, Zelensky dengan tegas menolak ide tersebut. “Tidak ada kompromi dengan pembunuh di tanah kami,” tegasnya, merujuk pada pasukan Rusia yang telah menduduki sebagian wilayah Ukraina. Respons keras dari Zelensky semakin memperburuk suasana di Ruang Oval.

Di tengah ketegangan tersebut, media AS melaporkan bahwa pejabat tinggi pemerintahan Trump, setelah melihat suasana yang semakin tegang, meminta Zelensky untuk meninggalkan Gedung Putih. Meskipun ada keinginan dari pihak Ukraina untuk melanjutkan pembicaraan, Zelensky akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari Washington, meninggalkan ruang pertemuan yang seharusnya menjadi ajang dialog penting bagi kedua negara.

Ketegangan yang Menyudutkan Ukraina

Pernyataan Marco Rubio dan kejadian di Gedung Putih tersebut menandai kemunduran yang signifikan dalam hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Ukraina. Ketegangan yang berkembang menjadi insiden seperti ini semakin memperburuk posisi Ukraina di mata dunia internasional. Sementara itu, AS, di bawah pemerintahan Trump, terus mempertanyakan komitmen Ukraina terhadap perundingan damai, yang membuat banyak pihak bertanya-tanya mengenai langkah selanjutnya dalam upaya perdamaian di wilayah tersebut.

Ke depan, tampaknya akan lebih banyak tantangan bagi Ukraina untuk mendapatkan dukungan internasional, terutama dari AS, dalam menghadapi Rusia yang semakin memperbesar cengkeramannya di wilayah Ukraina. Di sisi lain, langkah-langkah strategis dan diplomatik yang akan diambil oleh kedua negara besar ini akan sangat menentukan masa depan hubungan mereka dan proses perdamaian yang diharapkan dapat tercapai.

Categories
Berita Internasional Home

Senjata Nuklir Prancis Bakal Ditempatkan di Jerman dan Eropa?

Prancis dikabarkan siap untuk memperluas perlindungan nuklirnya ke negara-negara Uni Eropa, termasuk dengan menempatkan jet tempur bersenjata nuklir di Jerman. Kabar ini pertama kali dilaporkan oleh The Telegraph pada Selasa (25/2/2025), mengutip pernyataan dari seorang pejabat Prancis yang tidak disebutkan namanya.

Laporan ini muncul setelah Friedrich Merz, pemimpin partai CDU yang baru saja memenangkan pemilu parlemen Jerman, menyerukan agar Prancis dan Inggris memperluas perlindungan nuklir mereka ke Jerman. Seruan ini memicu spekulasi tentang kemungkinan integrasi kekuatan nuklir Eropa di luar pengaruh NATO.

Prancis dan Payung Nuklir Eropa

Saat ini, Prancis memiliki sekitar 300 hulu ledak nuklir yang beroperasi secara independen dari NATO, berbeda dengan Inggris yang mengintegrasikan kemampuan nuklirnya ke dalam strategi pertahanan aliansi militer pimpinan Amerika Serikat (AS).

Menurut sumber diplomatik Jerman, diskusi resmi mengenai pengerahan senjata nuklir Prancis di Uni Eropa belum dimulai. Selain itu, permintaan untuk memperkuat perlindungan nuklir di kawasan tersebut tampaknya tidak akan diajukan kecuali AS menarik pasukan dan senjata nuklirnya dari Jerman.

Meskipun demikian, CDU yang dipimpin Merz disebut tertarik dengan konsep “payung nuklir” dan bersedia membiayainya. Langkah ini juga dapat memberikan tekanan bagi Inggris untuk mengikuti kebijakan serupa.

Seorang pejabat Prancis yang diwawancarai oleh The Telegraph menyatakan bahwa penempatan jet tempur bersenjata nuklir di Jerman bukanlah hal sulit dan dapat menjadi sinyal kuat bagi Rusia. Pernyataan ini muncul di tengah kekhawatiran beberapa pemimpin Uni Eropa mengenai potensi ancaman dari Moskow, meskipun Kremlin telah berkali-kali membantah niat untuk menyerang Eropa.

Respons Macron dan Sikap AS

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron telah membahas rencana keamanan Eropa ini dengan Friedrich Merz, serta menyampaikannya kepada Presiden AS Donald Trump.

Trump sebelumnya menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan lagi menjamin keamanan Ukraina setelah kesepakatan damai tercapai, yang memicu kekhawatiran di kalangan sekutu Eropa.

Selama beberapa tahun terakhir, Macron secara aktif mendorong Uni Eropa untuk meningkatkan kapasitas pertahanannya sendiri, termasuk dengan mengembangkan rencana militer besar-besaran, meningkatkan anggaran pertahanan, dan membentuk tentara Eropa.

Di sisi lain, Trump kerap mengkritik negara-negara anggota NATO di Eropa yang dianggap tidak berkontribusi cukup dalam pembiayaan pertahanan bersama. Ia bahkan pernah mengancam untuk menarik perlindungan AS bagi negara-negara yang gagal memenuhi kewajiban anggaran pertahanan mereka.

Rusia: NATO Penyebab Eskalasi Ketegangan

Rusia telah berulang kali menegaskan tidak memiliki rencana untuk menyerang NATO, dengan Presiden Vladimir Putin menyebut spekulasi semacam itu sebagai “omong kosong”.

Moskow juga tetap berpegang pada komitmen nonproliferasi nuklir, dengan doktrin militernya hanya mengizinkan penggunaan senjata nuklir dalam kondisi ekstrem, seperti jika kedaulatan atau keberadaan negara terancam.

Kremlin terus mengkritik ekspansi NATO yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama konflik di Ukraina. Mereka menuding langkah-langkah militer Barat sebagai bentuk provokasi yang memperburuk situasi keamanan di Eropa.

Dengan perkembangan ini, masa depan keamanan Eropa tampak semakin dinamis. Jika Prancis benar-benar memperluas pengaruh nuklirnya ke Jerman dan negara Uni Eropa lainnya, bagaimana reaksi dari Rusia, NATO, dan AS? Semua mata kini tertuju pada kebijakan yang akan diambil oleh para pemimpin dunia dalam menghadapi perubahan lanskap pertahanan global.

Categories
Berita Internasional Home

Misi Perdamaian! Rusia dan AS Duduk Bersama di Arab Saudi

Rusia dan Amerika Serikat akhirnya menyepakati pembentukan tim perundingan guna mencari solusi dalam menghentikan konflik berkepanjangan di Ukraina. Kesepakatan ini diumumkan pada Selasa (18/2/2025) setelah berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi pertama antara Washington dan Moskwa sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Langkah ini menjadi titik penting dalam dinamika geopolitik global, tetapi sekaligus memicu kekhawatiran dari beberapa pemimpin Eropa, yang khawatir akan adanya perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Kekhawatiran Eropa dan Kekecewaan Ukraina

Negosiasi ini memunculkan pertanyaan besar bagi sekutu Amerika di Eropa. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa Washington mungkin akan memberikan konsesi besar kepada Moskwa, yang berpotensi mengubah keseimbangan keamanan di kawasan, mirip dengan era Perang Dingin. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga meluapkan kekecewaannya atas tidak diundangnya Kyiv dalam pembicaraan tersebut.

“Setiap upaya perundingan yang bertujuan mengakhiri perang seharusnya melibatkan negara-negara Eropa, termasuk Turkiye yang sebelumnya menawarkan diri sebagai tuan rumah perundingan,” ujar Zelensky dengan nada tegas. Salah satu pejabat senior Ukraina yang enggan disebutkan namanya bahkan menyebut negosiasi ini hanya akan menguntungkan Presiden Rusia Vladimir Putin, karena dilakukan tanpa partisipasi langsung dari Ukraina.

Trump Optimistis, Tapi Kritik Ukraina

Presiden Donald Trump, dalam konferensi pers di Mar-a-Lago, Florida, mengungkapkan keyakinannya bahwa pembicaraan ini dapat membawa solusi damai bagi konflik di Ukraina.

“Saya percaya bahwa saya memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang ini,” ujar Trump dengan penuh optimisme. Namun, ia juga melontarkan kritik tajam terhadap Ukraina yang mengeluhkan tidak diundang ke meja perundingan.

“Hari ini saya mendengar, ‘Oh, kami tidak diundang.’ Kalian sudah terlibat dalam konflik ini selama tiga tahun, jadi mengapa harus mengeluh?” kata Trump, menyoroti panjangnya perang yang belum juga menemukan titik terang.

Kesepakatan Rusia-AS dan Prospek Hubungan Diplomatik

Dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyepakati pembentukan tim perundingan tingkat tinggi yang akan segera bekerja untuk menemukan solusi bagi konflik di Ukraina. Selain itu, kedua negara juga sepakat untuk membangun mekanisme konsultasi dalam rangka memperbaiki hubungan bilateral, yang selama ini mengalami ketegangan akibat berbagai sanksi dan konflik kepentingan di panggung global.

Sementara itu, Yuri Ushakov, penasihat kebijakan luar negeri Presiden Vladimir Putin, mengonfirmasi bahwa Moskwa telah menunjuk perwakilan untuk perundingan ini. Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah Putin dan Trump akan bertemu secara langsung dalam waktu dekat.

Trump sendiri tidak menutup kemungkinan adanya pertemuan tatap muka dengan Putin sebelum akhir bulan ini, meski belum memberikan rincian lebih lanjut.

Moskwa Lihat Peluang Baru Setelah Isolasi Barat

Perundingan di Riyadh, Arab Saudi, dianggap sebagai langkah strategis bagi Rusia, yang dalam tiga tahun terakhir mengalami isolasi dari negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden. Kirill Dmitriev, seorang negosiator ekonomi Rusia, menilai bahwa upaya negara-negara Barat untuk memutus hubungan Rusia dengan dunia internasional telah gagal.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov turut menyuarakan optimisme atas hasil pertemuan ini.

“Kami tidak hanya saling mendengarkan, tetapi juga mulai memahami sudut pandang masing-masing. Saya percaya bahwa pihak Amerika kini lebih memahami posisi Rusia dalam konflik ini,” ujar Lavrov kepada awak media.

Namun, ia juga menegaskan bahwa Moskwa menolak kemungkinan pengerahan pasukan NATO ke Ukraina sebagai bagian dari potensi kesepakatan gencatan senjata.

Dengan perundingan yang mulai bergerak maju, dunia kini menanti bagaimana langkah Rusia dan Amerika Serikat selanjutnya dalam menentukan arah perang di Ukraina. Apakah kesepakatan ini benar-benar bisa membawa perdamaian, atau justru menciptakan babak baru dalam ketegangan geopolitik global?

Categories
Berita Internasional Home

Dukungan Penuh! Inggris Siap Kerahkan Pasukan ke Ukraina Jika Diperlukan

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menegaskan kesiapan negaranya untuk mengerahkan pasukan ke Ukraina jika situasi menuntutnya. Pernyataan ini disampaikan sebagai bagian dari komitmen Inggris dalam menjaga stabilitas dan keamanan Eropa di tengah konflik yang masih berlangsung antara Ukraina dan Rusia.

Dalam artikelnya yang diterbitkan di Daily Telegraph pada Minggu (16/2/2025), Starmer menegaskan bahwa Inggris akan terus memberikan dukungan penuh kepada Ukraina. “Kami siap berkontribusi dalam menjamin keamanan Ukraina, termasuk dengan menempatkan pasukan kami di lapangan jika diperlukan,” tulisnya.

Ia menambahkan bahwa memastikan keamanan Ukraina berarti juga melindungi kepentingan Eropa, termasuk Inggris. Starmer dijadwalkan menghadiri pertemuan tingkat tinggi di Paris pada Senin (17/2/2025), di mana para pemimpin Eropa akan membahas dinamika terbaru perang di Ukraina serta peran Amerika Serikat dalam upaya mencapai solusi damai.

Diplomasi Starmer: Pertemuan dengan Trump dan Pemimpin Eropa

Selain menghadiri pertemuan di Paris, Starmer juga dijadwalkan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam beberapa hari mendatang. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat hubungan transatlantik dan memastikan bahwa Eropa serta AS tetap bersatu dalam mendukung Ukraina.

Menurut Starmer, dukungan AS tetap menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas di Eropa dan mencegah agresi lebih lanjut dari Rusia. “Peran Amerika Serikat sangat krusial dalam menjamin keamanan jangka panjang. Hanya AS yang memiliki kapasitas untuk mencegah Putin melakukan serangan lagi,” ungkapnya, merujuk pada Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Pertemuan tingkat tinggi di Paris akan dihadiri oleh para pemimpin dari Jerman, Italia, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Denmark. Forum ini berlangsung menjelang peringatan tiga tahun sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari mendatang.

Kekhawatiran Eropa dan Ancaman Pengaruh Moskwa

Negara-negara Eropa semakin waspada terhadap kemungkinan bahwa Ukraina akan dipaksa menerima kesepakatan yang lebih menguntungkan Rusia jika tekanan dari Washington meningkat. Jika skenario tersebut terjadi, Putin berpotensi mengklaim kemenangan dan memperluas pengaruhnya di kawasan Eropa Timur.

Starmer memperingatkan bahwa situasi saat ini merupakan momen krusial dalam sejarah keamanan benua Eropa. “Kita berada di titik penting dalam upaya menjaga keamanan kolektif Eropa. Ini bukan hanya tentang masa depan Ukraina, tetapi juga menyangkut stabilitas dan keberlangsungan perdamaian di seluruh Eropa,” tulisnya dalam artikelnya.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, pertemuan di Paris diperkirakan akan menjadi momen penting dalam menentukan langkah strategis Eropa dan sekutunya dalam menghadapi ancaman Rusia serta mempertahankan keseimbangan geopolitik di kawasan.