Categories
Berita Internasional Home

AS Tolak Permintaan Netanyahu, Desak Israel Mundur dari Lebanon Sebelum 18 Februari

Amerika Serikat dengan tegas menolak permintaan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk memperpanjang keberadaan militer Israel di Lebanon Selatan. Washington menegaskan bahwa pasukan Israel harus mundur sebelum tenggat waktu 18 Februari, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya, demikian dilaporkan oleh Jerusalem Post.

Meski Netanyahu berupaya meminta dukungan Presiden Donald Trump agar pasukan Israel tetap bertahan di lima titik strategis perbatasan, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menyatakan bahwa tidak akan ada perpanjangan waktu. “Penarikan pasukan Israel tetap berjalan sesuai jadwal, dan tidak ada permintaan resmi untuk memperpanjang batas waktu,” tegasnya. Sikap ini mengindikasikan adanya pergeseran kebijakan Trump yang semakin tegas terhadap operasi militer Israel di luar Gaza.

Sebelumnya, perjanjian gencatan senjata 60 hari yang dijadwalkan berakhir pada 27 Januari memberi Israel waktu untuk menarik pasukannya. Namun, hingga batas waktu tersebut, Israel belum mundur dengan alasan Angkatan Bersenjata Lebanon belum sepenuhnya dikerahkan di wilayah selatan. AS sempat memberikan tambahan waktu hingga 18 Februari, tetapi kini menolak penundaan lebih lanjut.

Di sisi lain, Lebanon menuduh Israel telah melanggar kesepakatan dan mengajukan protes ke Dewan Keamanan PBB. Media Lebanon melaporkan lebih dari 830 pelanggaran oleh Israel sejak gencatan senjata diberlakukan. Sementara itu, Morgan Ortagus, utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, menegaskan kembali kebijakan AS selama kunjungannya ke Lebanon dan Israel, di mana ia turut meninjau perbatasan utara bersama pejabat militer Israel.

Dalam perjanjian awal, Israel diwajibkan menarik pasukannya seiring dengan pengerahan tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB, sementara kelompok Hizbullah harus mundur ke utara Sungai Litani. Israel mengklaim bahwa Lebanon belum memenuhi kewajiban tersebut, namun Washington memastikan bahwa militer Lebanon akan siap sepenuhnya sebelum batas waktu yang telah disepakati.

Sikap Trump terhadap Lebanon juga menunjukkan adanya perubahan strategi dalam kebijakan luar negerinya, khususnya terkait Iran. Saat menandatangani kebijakan baru tentang sanksi maksimum terhadap Teheran, Trump menunjukkan ketidakinginannya dengan menyatakan, “Saya menandatangani ini, tetapi saya tidak senang melakukannya.” Lebih mengejutkan lagi, ia menegaskan bahwa tidak semua pemimpin Iran menginginkan senjata nuklir, sebuah pernyataan yang bertentangan dengan narasi Netanyahu yang selama ini menggambarkan Iran sebagai ancaman utama bagi stabilitas regional.

Menurut analis Trita Parsi, sikap ini menunjukkan bahwa Trump mungkin lebih tertarik untuk mencari kesepakatan diplomatik dengan Iran daripada sekadar memperketat sanksi. Langkah ini berpotensi mengguncang hubungan AS-Israel dan menggagalkan beberapa agenda strategis Netanyahu di kawasan Timur Tengah.

Categories
Berita Internasional Home

Pembangunan Gaza Jadi Prioritas, Mesir Tegaskan Penolakan Relokasi Palestina

Mesir tengah merancang sebuah proposal komprehensif untuk membangun kembali Gaza, dengan tujuan memastikan warga Palestina tetap berada di tanah mereka sendiri. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa langkah ini merupakan upaya nyata untuk mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut dan menolak segala bentuk pemindahan paksa penduduk Palestina.

Rencana tersebut muncul di tengah meningkatnya tekanan dari Presiden AS Donald Trump, yang mengusulkan pemindahan warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Usulan ini mendapatkan penolakan tegas dari negara-negara Arab, termasuk Mesir dan Yordania, yang menilai bahwa solusi terbaik adalah membangun kembali Gaza tanpa mencabut hak penduduknya atas tanah mereka.

Mesir dan Yordania Sepakat Menolak Relokasi

Reuters melaporkan bahwa pernyataan Mesir ini disampaikan setelah Raja Yordania Abdullah II bertemu dengan Presiden Trump. Dalam pertemuan tersebut, Raja Abdullah menegaskan bahwa negaranya menolak rencana pengambilalihan Palestina dan pemindahan penduduknya ke luar wilayah mereka.

Meski demikian, Yordania setuju untuk menerima sekitar 2.000 anak-anak dari Gaza yang membutuhkan perawatan medis mendesak. Kesepakatan ini merupakan bagian dari langkah kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu mereka yang terdampak konflik berkepanjangan di Jalur Gaza.

Rekonstruksi Gaza Jadi Prioritas

Mesir menegaskan bahwa membangun kembali Gaza harus menjadi prioritas utama bagi komunitas internasional. Pemerintah Mesir saat ini sedang menyusun strategi yang akan memungkinkan negara-negara kawasan untuk berkolaborasi dalam upaya rekonstruksi tanpa perlu memindahkan penduduk Palestina.

Dalam pertemuan dengan Trump, Raja Abdullah menekankan bahwa Mesir akan memberikan tanggapannya terhadap situasi ini dan akan membawa diskusi lebih lanjut dalam pertemuan tingkat tinggi di Riyadh. “Mari kita bersabar dan menunggu proposal resmi dari Mesir. Tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang menyangkut nasib banyak orang,” ujar Raja Abdullah.

Trump Ancam Hentikan Bantuan untuk Mesir dan Yordania

Situasi semakin memanas setelah Trump mengancam akan menghentikan bantuan keuangan bagi Mesir dan Yordania jika kedua negara tersebut tidak bersedia menerima pengungsi dari Gaza. Trump juga menegaskan bahwa warga Palestina yang telah meninggalkan Gaza tidak boleh kembali ke wilayah mereka, melainkan harus mencari tempat tinggal baru di negara-negara tetangga.

Pernyataan kontroversial ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari negara-negara Arab yang menilai bahwa pemindahan paksa bukanlah solusi untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Mesir dan Yordania pun tetap pada pendiriannya untuk menolak rencana tersebut dan lebih memilih pendekatan yang berfokus pada rekonstruksi Gaza serta pemulihan kondisi kemanusiaan di sana.

Dengan adanya proposal rekonstruksi yang tengah disusun oleh Mesir, dunia kini menantikan bagaimana negara-negara di kawasan akan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan ini tanpa mengorbankan hak-hak rakyat Palestina atas tanah mereka.

Categories
Berita Internasional Home

Tepi Barat Ganti Nama, Trump Tak Mau Kalah dan Mau Beli Gaza!

Kontroversi terkait Palestina kembali memanas di panggung internasional. Dari rencana Israel mengganti nama Tepi Barat hingga ambisi mantan Presiden AS Donald Trump terhadap Gaza, berbagai perkembangan ini menjadi perhatian dunia.

Berikut rangkuman berita internasional terbaru:

Israel Ganti Nama Tepi Barat Jadi Yudea-Samaria

Pemerintah Israel semakin memperkuat kontrolnya di Tepi Barat dengan meloloskan rancangan undang-undang untuk mengganti nama wilayah tersebut menjadi Yudea-Samaria.

RUU ini disahkan oleh Komite Kabinet Parlemen Israel pada Minggu (9/2). Simcha Rothman, seorang anggota parlemen sayap kanan, mengatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk menyeragamkan penggunaan istilah Yudea-Samaria dalam hukum Israel.

“Mengganti istilah Tepi Barat dengan Yudea-Samaria akan mencerminkan pengakuan hukum atas hak historis bangsa Yahudi atas tanah tersebut dan mengoreksi distorsi sejarah,” ujar Rothman, dikutip dari Matzav.

Keputusan ini menuai kecaman dari komunitas internasional, terutama Palestina dan negara-negara Arab, yang menganggapnya sebagai bagian dari upaya aneksasi wilayah Palestina.

Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Ada Apa?

Mantan Presiden AS Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait Jalur Gaza. Ia menyatakan bahwa AS harus membeli dan memiliki Gaza, sekaligus mengawasi proses rekonstruksinya.

“Saya berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza. Untuk pembangunan kembali, mungkin kami akan menyerahkannya ke negara lain di Timur Tengah atau pihak lain di bawah pengawasan kami. Namun, kami ingin mengambil alihnya dan memastikan Hamas tidak kembali,” ujar Trump, dikutip dari Reuters.

Trump bahkan menyebut Gaza sebagai “situs real estate besar”, yang memicu reaksi keras dari Palestina dan negara-negara Arab. Banyak yang menganggap pernyataan ini sebagai bentuk arogansi politik dan pengabaian terhadap hak rakyat Palestina.

Netanyahu Sarankan Palestina Dipindahkan ke Arab Saudi, Dunia Arab Murka

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memicu kemarahan negara-negara Arab setelah mengusulkan agar Palestina mendirikan negara di Arab Saudi.

Dalam wawancara dengan Channel 14 Israel, Netanyahu berpendapat bahwa Arab Saudi memiliki cukup lahan untuk menampung warga Palestina yang ingin bernegara sendiri.

“Saudi bisa mendirikan negara Palestina di Arab Saudi, mereka punya banyak tanah di sana,” katanya, dikutip dari Anadolu Agency pada Minggu (9/2).

Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang menolak gagasan tersebut. Mereka menegaskan bahwa Palestina berhak atas tanah mereka sendiri dan solusi yang diusulkan Netanyahu dianggap sebagai upaya untuk menghapus eksistensi Palestina dari peta dunia.

Dunia Memantau Perkembangan Palestina

Situasi di Palestina semakin kompleks dengan adanya berbagai usulan dan kebijakan yang kontroversial. Dunia internasional kini menanti langkah selanjutnya, apakah konflik ini akan semakin memanas atau ada solusi diplomatik yang dapat mengakhiri ketegangan.

Categories
Berita Internasional Home

Rusia Soroti Keputusan Trump Tutup USAID: Isyarat Campur Tangan AS ke Negara Lain

Keputusan mengejutkan datang dari pemerintahan Donald Trump yang secara resmi membubarkan Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Langkah ini mendapat respons positif dari Rusia, yang sejak lama menilai USAID sebagai alat intervensi politik global.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyatakan bahwa pembubaran USAID merupakan keputusan yang tepat, mengingat peran badan tersebut dalam urusan politik negara lain.

“USAID bukanlah lembaga bantuan dan pembangunan, melainkan alat untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, mengubah rezim, dan mengutak-atik tatanan politik,” ujar Zakharova, dikutip dari The Moscow Times.

Zakharova juga menegaskan bahwa Rusia telah lama menganggap USAID sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik AS, bukan sekadar lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan.

USAID dan Tuduhan Sebagai Alat Soft Power Amerika

Sejak lama, USAID dipandang sebagai instrumen soft power bagi Amerika Serikat untuk memperluas pengaruhnya di dunia. Bahkan, pada tahun 2012, Rusia sempat mengusir lembaga ini dengan tuduhan terlibat dalam upaya destabilisasi politik, terutama di negara-negara bekas Uni Soviet yang sedang bertransisi menuju demokrasi.

USAID sering dituding terlibat dalam mendanai kelompok pro-demokrasi di berbagai negara, yang oleh beberapa pemerintah dianggap sebagai bentuk intervensi politik terselubung.

Keputusan Trump dan Tudingan dari Elon Musk

Keputusan untuk membubarkan USAID diumumkan oleh Elon Musk, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE) pada Senin (3/2).

Trump juga membekukan semua bentuk bantuan luar negeri selama tiga bulan ke depan, dengan alasan bahwa banyak program tersebut tidak lagi selaras dengan kepentingan Amerika Serikat.

Musk bahkan melontarkan sejumlah tuduhan kontroversial terhadap USAID, menyebutnya sebagai “organisasi kriminal”, “sarang penganut ideologi Marxis-Kiri”, hingga “pendukung senjata biologi”.

Trump pun ikut memperkeruh suasana dengan menyebut lembaga tersebut “dijalankan oleh sekelompok orang gila radikal.”

Nasib USAID dan Dampaknya ke Depan

USAID selama ini mengelola anggaran sebesar $42,8 miliar (sekitar Rp704 triliun) untuk mendanai berbagai program bantuan kemanusiaan dan pembangunan di seluruh dunia.

Namun, akibat kebijakan ini, ribuan pegawai USAID telah kehilangan pekerjaan, sementara tugas lembaga tersebut nantinya akan dialihkan ke Kementerian Luar Negeri AS.

Langkah drastis ini memicu perdebatan global, dengan banyak pihak mempertanyakan apakah keputusan Trump benar-benar akan menguntungkan Amerika Serikat dalam jangka panjang atau justru merugikan citra negara itu di dunia internasional.

Apakah Ini Akhir dari Diplomasi Bantuan AS?

Dengan pembubaran USAID, masa depan diplomasi bantuan luar negeri Amerika Serikat kini berada dalam ketidakpastian. Beberapa pihak mendukung langkah ini sebagai upaya efisiensi anggaran dan menghindari intervensi yang tidak perlu, sementara yang lain khawatir bahwa kebijakan ini akan mengikis pengaruh AS di berbagai negara yang selama ini bergantung pada bantuan tersebut.

Bagaimana menurut Anda? Apakah ini langkah yang tepat atau justru merugikan citra Amerika di dunia?

Categories
Berita Internasional Home

IOM Hentikan Kegiatan di Republik Demokratik Kongo Akibat Penghentian Sementara USAID

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) terpaksa menghentikan operasionalnya di Republik Demokratik Kongo (DRC) akibat dampak dari penghentian sementara aktivitas Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Keputusan ini memengaruhi banyak mitra PBB lainnya yang juga terhenti kegiatannya.

Pernyataan ini disampaikan oleh Vivian van de Perre, Wakil Kepala Misi Stabilisasi PBB di DRC (MONUSCO), pada sesi pengarahan PBB yang diadakan pada Rabu, 5 Februari 2025. “Saya baru saja diberitahu bahwa banyak mitra kami, termasuk IOM yang merupakan mitra utama, harus menghentikan operasional mereka akibat penghentian kegiatan USAID,” ujar Perre.

Langkah ini merupakan dampak dari perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 20 Januari 2025, yang menangguhkan seluruh bantuan luar negeri selama 90 hari. Langkah ini diambil sebagai bagian dari peninjauan ulang komitmen keuangan AS di luar negeri sesuai dengan kebijakan “America First” yang digagas oleh pemerintahannya.

Pada 3 Februari, Presiden Trump menunjuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio untuk memimpin USAID secara sementara. Rubio kemudian menginformasikan Kongres AS bahwa sedang dilakukan evaluasi terhadap aktivitas bantuan luar negeri yang kemungkinan akan berujung pada reorganisasi. Saat ini, situs resmi USAID menginformasikan bahwa seluruh pegawai tetap akan mendapatkan cuti administratif mulai 7 Februari, kecuali mereka yang bertanggung jawab atas program yang sangat penting dan mendesak.

Sementara itu, miliarder Elon Musk yang memimpin Departemen Efisiensi Pemerintahan AS (DOGE) menyatakan bahwa Trump telah menyetujui pembubaran USAID, menyebut badan tersebut sebagai “organisasi kriminal” yang harus dihapuskan.

Categories
Berita Internasional Home

Warga Palestina Tegaskan Penolakan Terhadap Usulan Trump Mengenai Gaza

Warga Palestina dengan tegas menolak usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait “kepemilikan jangka panjang” atas wilayah Gaza. Dalam konferensi pers pada Selasa (5/2/2025) di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengusulkan ide kontroversial ini setelah sebelumnya mengusulkan pemindahan penduduk Gaza ke Yordania dan Mesir.

“Kami hanya punya satu pilihan: hidup atau mati di sini,” ungkap Ahmed Halasa (41), seorang warga Gaza, yang berdiri di dekat reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan. Meskipun sebagian besar wilayah utara Gaza hancur, ratusan ribu warga Gaza kembali ke rumah mereka sejak akhir Januari setelah gencatan senjata yang rapuh mengakhiri lebih dari 15 bulan konflik antara Israel dan Hamas. “Kami kembali meskipun banyak kerusakan dan kekurangan infrastruktur serta kebutuhan dasar,” kata Ahmed al-Minawi (24), yang kembali bersama keluarganya. Mereka dengan tegas menolak segala bentuk pemindahan. “Mereka bisa melakukan apa pun, tetapi kami akan tetap di tanah air kami,” tambah Halasa.

Bagian utara Gaza, termasuk Kota Gaza, sangat terpukul oleh pertempuran selama perang, dengan banyak warga yang rumahnya hancur mendirikan tenda untuk tinggal di dekat reruntuhan. Badri Akram (36) mengatakan, meskipun rumahnya hancur, dia tetap memilih untuk tinggal di reruntuhan rumahnya daripada mengikuti saran Trump untuk meninggalkan Gaza.

Trump juga mengusulkan pembangunan “Riviera Timur Tengah” di Gaza, namun bagi warga Palestina, kekhawatiran terbesar adalah kemungkinan pengusiran, yang mengingatkan mereka pada “Nakba”, pengusiran massal warga Palestina pada tahun 1948. “Kami telah memerangi pengusiran sejak 1948,” kata Minawi. Menurut data dari Program Pangan Dunia PBB, sekitar 500.000 orang telah kembali ke utara Gaza dalam beberapa hari terakhir. Di Tepi Barat yang diduduki Israel, warga Palestina juga mengekspresikan kemarahan yang sama terkait pembicaraan penggusuran. “Kami tidak akan meninggalkan tanah kami, bahkan jika mereka membawa semua tank di dunia,” kata Umm Muhammad al-Baytar dari Ramallah.

Categories
Berita Internasional Home

Pangeran Arab Saudi Sebut Rencana Trump di Gaza sebagai Pembersihan Etnis

Pangeran Turki al-Faisal, anggota senior keluarga kerajaan Arab Saudi, dengan tegas mengecam rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terkait pengambilalihan Jalur Gaza, Palestina. Turki al-Faisal, yang juga mantan kepala dinas intelijen Arab Saudi, menggambarkan ide Trump tersebut sebagai upaya pembersihan etnis yang tidak dapat diterima oleh komunitas internasional. “Apa yang diungkapkan Trump sangat sulit diterima. Saya merasa tidak pantas menambahkan komentar lebih lanjut, namun tidak ada cara untuk membenarkan pembersihan etnis di abad ke-21,” ujar Pangeran Turki al-Faisal.

Kritik ini muncul setelah Trump, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa malam, mengungkapkan pandangannya tentang Gaza. Trump menyarankan bahwa wilayah tersebut sebaiknya dihancurkan dan mengusulkan agar warga Palestina yang tinggal di Gaza dipindahkan ke berbagai negara untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Selain itu, Trump juga mengisyaratkan kemungkinan pengerahan pasukan AS jika situasi memburuk. Sementara itu, Netanyahu menyambut baik rencana tersebut, yang segera menuai kecaman dari berbagai pihak internasional, termasuk Arab Saudi.

Pangeran Turki al-Faisal menegaskan bahwa akar masalah Palestina bukanlah pada rakyatnya, melainkan pada pendudukan Israel yang sudah berlangsung lama. “Ini adalah pendudukan oleh Israel, dan hal ini sudah jelas diakui oleh dunia,” katanya. Meskipun AS dan Israel berharap untuk mempererat hubungan dengan Arab Saudi, Riyadh tetap teguh pada prinsipnya bahwa hubungan diplomatik tidak akan terjalin tanpa adanya negara Palestina dengan perbatasan 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Menanggapi tawaran Trump untuk mengunjungi Riyadh jika Arab Saudi berinvestasi lebih banyak di AS, Pangeran Turki al-Faisal berpendapat bahwa jika Trump benar-benar datang, ia akan menerima teguran keras dari para pemimpin Arab. “Jika dia datang ke sini, dia akan mendengar kritik tajam tentang kebijakan yang ia usulkan, yang justru akan memperburuk keadaan, menciptakan lebih banyak konflik dan pertumpahan darah,” tambahnya.

Pangeran Turki juga mengkritik keras Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional Israel, yang disebutnya sebagai “pembersih etnis terbesar di Palestina.” Ben-Gvir, yang selama ini mendukung pemindahan warga Palestina, kini mendukung pandangan Trump, yang menurut Pangeran Turki, tidak dapat dibenarkan.

Pangeran Turki al-Faisal mengantisipasi adanya tindakan kolektif dari negara-negara Arab, Muslim, Eropa, dan pihak lain yang mendukung solusi dua negara, yang akan mendesak PBB untuk mengambil langkah terhadap rencana Trump. Meskipun hak veto AS di PBB bisa menghambat resolusi, Pangeran Turki berharap dunia akan bersatu menentang ide tersebut. “Ini adalah upaya pembersihan etnis yang gila, dan dunia harus menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa diterima,” ujarnya.

Categories
Berita Internasional Home

Usulan Relokasi Palestina oleh Trump Dikecam Sebagai Wacana Tak Bermoral, PBB Tuntut Tindakan Internasional

Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Jalur Gaza dan menguasai wilayah tersebut mendapat kecaman keras. Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, Francesca Albanese, menilai usulan tersebut sebagai “tak bermoral” dan memperburuk situasi yang sudah tegang di kawasan.

Dalam konferensi pers di Kopenhagen, Denmark, Albanese mengecam wacana Trump yang dinilai sebagai langkah provokatif yang dapat memicu pengusiran paksa, yang menurutnya merupakan kejahatan internasional. Ia menambahkan bahwa rencana tersebut bertentangan dengan hukum dan sangat tidak bertanggung jawab.

Albanese juga menanggapi pandangan yang menyebutkan bahwa insentif ekonomi dapat menjadi solusi bagi konflik Timur Tengah yang telah berlangsung lama. Ia mengingatkan bahwa meskipun pembangunan ekonomi penting, hak-hak dasar rakyat Palestina tidak boleh dikorbankan dalam proses tersebut. “Perdamaian yang dibangun hanya dengan pembangunan ekonomi adalah harapan kosong yang tidak akan membawa perubahan nyata,” katanya. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menghentikan kekerasan adalah dengan memberikan kesempatan bagi perdamaian melalui kebebasan.

Trump sebelumnya mengusulkan bahwa AS akan mengambil alih Gaza, meratakan wilayah tersebut, dan merelokasi warga Palestina ke tempat lain. Ia berencana untuk membangun kembali Gaza dengan harapan dapat mengubahnya menjadi “Riviera di Timur Tengah”. Namun, usulan tersebut menuai kecaman keras dari sejumlah negara, termasuk Turki, Yordania, Mesir, dan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, serta Jerman.

Categories
Berita Internasional Home

Bertemu Netanyahu, Trump Sebut AS akan Ambil Alih Jalur Gaza

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa AS berencana untuk mengambil alih Jalur Gaza dan melakukan rekonstruksi besar-besaran di wilayah tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers usai pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Selasa (4/2).

“Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza dan kami akan bekerja di sana,” ujar Trump sambil berdiri di samping Netanyahu.

Trump menegaskan bahwa Washington akan bertanggung jawab dalam membersihkan wilayah tersebut dari bom yang belum meledak dan menghancurkan seluruh persenjataan yang masih ada. Selain itu, ia juga berencana untuk meratakan bangunan yang hancur serta membangun kembali infrastruktur di wilayah tersebut.

Rencana Pembangunan dan Relokasi Penduduk Gaza

Dalam pernyataannya, Trump juga mengungkapkan bahwa AS berencana membangun kembali perekonomian Gaza, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan dan perumahan dalam jumlah besar bagi penduduk yang terdampak konflik.

Pertemuan antara Trump dan Netanyahu berlangsung di Gedung Putih dengan agenda utama membahas masa depan Gaza, termasuk potensi gencatan senjata serta rencana relokasi penduduk Palestina.

Diskusi ini berlangsung di tengah negosiasi fase kedua gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang hingga kini masih dalam pembicaraan.

Kontroversi Soal Relokasi Warga Palestina

Salah satu poin yang dibahas dalam pertemuan ini adalah wacana pemindahan warga Gaza ke negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Mesir dan Yordania.

Trump sebelumnya telah beberapa kali menyatakan keinginannya agar warga Gaza direlokasi, tetapi usulan ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. Mesir dan Yordania secara resmi menolak gagasan tersebut, sementara Otoritas Palestina mengecamnya sebagai upaya pengusiran paksa rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.

Pernyataan Trump ini diprediksi akan memicu reaksi tajam di dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab dan kelompok pro-Palestina yang menilai rencana ini dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.

Dengan situasi yang masih penuh ketidakpastian, dunia kini menunggu bagaimana reaksi dari pihak-pihak terkait, terutama setelah pernyataan kontroversial Trump mengenai ambisi Amerika untuk mengendalikan Gaza.

Categories
Berita Internasional Home

Trump Serukan Relokasi Warga Gaza, Picu Pro dan Kontra

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengusulkan agar warga Palestina yang mengungsi dari Gaza dipindahkan ke wilayah lain yang lebih layak huni, seperti Mesir atau Yordania. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di Ruang Oval pada Selasa (4/2), hanya beberapa jam sebelum pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih.

Trump berpendapat bahwa Gaza telah hancur akibat serangan militer Israel selama lebih dari setahun, sehingga menurutnya, relokasi adalah solusi terbaik bagi warga Palestina.

“Saya memiliki pandangan yang berbeda tentang Gaza dibanding banyak orang. Saya pikir mereka seharusnya mendapatkan tanah yang lebih baik, lebih segar, dan lebih layak huni. Kita bisa meminta beberapa pihak untuk menginvestasikan dana guna membangun tempat yang benar-benar nyaman bagi mereka,” ujar Trump.

Menurutnya, jika ada wilayah yang tepat, dengan dukungan dana yang cukup, maka relokasi akan menjadi solusi yang lebih baik dibanding kembali ke Gaza, yang ia sebut sebagai “situs pembongkaran yang tidak layak huni”.

Mesir dan Yordania Tolak Rencana Relokasi

Trump menyebut bahwa relokasi warga Gaza bisa dilakukan di Mesir atau Yordania, atau di wilayah lain yang dapat dijadikan tempat tinggal yang lebih aman dan layak. Namun, hingga saat ini, baik Mesir maupun Yordania telah berulang kali menolak gagasan untuk menampung lebih banyak pengungsi Palestina.

Gaza sendiri saat ini dihuni oleh lebih dari 2,1 juta orang dalam wilayah seluas 141 mil persegi, menjadikannya salah satu daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia.

Berdasarkan Perjanjian Oslo 1993, baik Gaza maupun Tepi Barat seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan. Namun, konflik berkepanjangan membuat proses perdamaian yang dipimpin AS terhenti selama beberapa dekade.

Potensi Kontroversi di Dunia Internasional

Mengusir paksa warga Gaza dari tanah mereka dapat dianggap sebagai pembersihan etnis menurut hukum internasional. Namun, Trump bersikeras bahwa penduduk Gaza akan lebih memilih meninggalkan wilayah tersebut jika mereka memiliki pilihan yang lebih baik.

“Mereka saat ini tidak punya pilihan. Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka harus kembali ke Gaza. Tetapi jika ada alternatif yang lebih baik, saya yakin mereka lebih memilih untuk pergi,” tegas Trump.

Saat berdiri di samping Netanyahu dalam konferensi pers, Trump menegaskan kembali pernyataannya bahwa warga Gaza sebaiknya tidak kembali ke wilayah yang sudah hancur.

“Mereka hidup seperti di neraka. Gaza bukan tempat layak huni. Satu-satunya alasan mereka ingin kembali adalah karena mereka tidak memiliki alternatif lain,” katanya.

Trump juga mengklaim bahwa jika dirinya yang meminta, Mesir dan Yordania tidak akan menolak permintaan untuk menampung pengungsi Palestina, berbeda dengan jika permintaan itu datang dari Presiden Joe Biden atau pemimpin lainnya.

“Saya tidak yakin mereka akan mengatakan ‘tidak’ kepada saya. Tapi mereka pasti akan menolak Biden atau orang lain,” ucapnya.

Pernyataan Trump ini berpotensi memicu reaksi keras di dunia internasional, terutama dari negara-negara Arab dan kelompok pro-Palestina yang menolak gagasan relokasi paksa. Sementara itu, Israel dan Palestina masih dalam proses negosiasi terkait gencatan senjata dan masa depan Gaza.