Categories
Berita Internasional Home

Israel Tunda Pembebasan 600 Tahanan Palestina, Hamas Sebut Sebagai “Permainan Kotor”

Israel memutuskan untuk menangguhkan pembebasan lebih dari 600 tahanan Palestina dalam tahap ketujuh kesepakatan gencatan senjata pada Sabtu (22/2/2025), dengan alasan kelompok Hamas sempat menyerahkan jenazah yang salah.

Menurut laporan perusahaan penyiaran Israel, KAN, pemerintah Zionis menghentikan proses pembebasan setelah menerima empat jenazah dari Hamas pada Kamis (20/2/2025). Institut Forensik Israel mengidentifikasi tiga di antaranya sebagai Oded Lifshitz, Kfir Bibas, dan Ariel Bibas, sesuai kesepakatan. Namun, jenazah keempat bukanlah milik Shiri Bibas seperti yang dijanjikan.

Setelah kesalahan tersebut, Hamas akhirnya menyerahkan jenazah Shiri Bibas pada Jumat (21/2/2025), dan identitasnya dikonfirmasi oleh otoritas forensik Israel. Meski demikian, Israel tetap menunda pembebasan para tahanan Palestina yang seharusnya dilakukan pada Sabtu malam.

KAN melaporkan bahwa awalnya para tahanan dijadwalkan dibebaskan larut malam sesuai rekomendasi pemimpin politik Israel. Namun, hingga pagi harinya, proses pembebasan belum juga terlaksana. Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa pembebasan lebih dari 600 tahanan akan ditunda hingga ada jaminan proses berikutnya berjalan lancar dan tidak merendahkan pihak Israel.

Dalam batch ketujuh ini, sebanyak 620 warga Palestina dijadwalkan dibebaskan, termasuk 445 orang yang ditangkap dari Gaza. Menanggapi penundaan tersebut, anggota senior biro politik Hamas, Basem Naim, menuding Israel bermain kotor untuk menggagalkan kesepakatan gencatan senjata, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Categories
Berita Internasional Home

Netanyahu Dituding Hamas sebagai Penghambat Gencatan Senjata

Kelompok Hamas mengklaim bahwa hingga kini pembicaraan dengan Israel mengenai tahap kedua kesepakatan gencatan senjata di Gaza belum juga dimulai. Juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanou, menuding Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja memperlambat proses implementasi perjanjian tersebut untuk kepentingan politiknya.

Menurut al-Qanou, Hamas masih menunggu Israel memenuhi seluruh ketentuan dalam “protokol kemanusiaan” yang telah disepakati sebelumnya. Ia juga menegaskan bahwa pihaknya siap menjalankan perjanjian tersebut sepenuhnya, termasuk setiap tahapan yang telah dirancang dalam kesepakatan awal.

Lebih lanjut, Hamas menuduh Israel menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Bantuan tersebut mencakup fasilitas penampungan sementara seperti rumah mobil dan tenda, serta alat berat yang diperlukan untuk membantu warga sipil yang terdampak konflik. Padahal, menurut Hamas, seluruh bantuan itu merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata tahap pertama, yang seharusnya sudah terealisasi.

Ketegangan Memuncak Setelah Pemulangan Jenazah

Pernyataan Hamas ini muncul beberapa jam sebelum militer Israel mengumumkan bahwa satu dari empat jenazah yang dipulangkan dari Gaza pada Kamis (20/2/2025) ternyata bukan tawanan seperti yang sebelumnya diperkirakan. Hingga saat ini, Hamas belum memberikan tanggapan resmi terhadap klaim tersebut.

Sebelumnya, al-Qanou juga menuding Israel menggunakan senjata yang dilarang secara internasional terhadap warga sipil Palestina. Selain itu, ia mengecam kebijakan pemerintah Israel yang disebutnya berusaha melucuti persenjataan kelompok perlawanan Palestina serta menekan perjuangan rakyat Gaza.

Sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan, al-Qanou menyerukan pembentukan komite investigasi internasional untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel. Hamas menegaskan bahwa mereka akan terus membela hak-hak rakyat Palestina dan mendesak komunitas internasional untuk segera bertindak guna menghentikan konflik yang berkepanjangan ini.

Dengan belum adanya kejelasan mengenai tahap kedua gencatan senjata, hubungan antara Hamas dan Israel tetap tegang. Situasi ini semakin mempersulit upaya perdamaian, sementara warga sipil di Gaza terus menghadapi kondisi yang semakin mengkhawatirkan.

Categories
Berita Internasional Home

China Tekankan Solusi Dua Negara sebagai Kunci Perdamaian Israel-Palestina

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengungkapkan bahwa penerapan solusi dua negara antara Israel dan Palestina adalah jalan utama untuk menyelesaikan permasalahan yang telah berlangsung lama di Timur Tengah. Pernyataan ini disampaikan Wang dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, di Konferensi Keamanan Munich yang berlangsung di Jerman pada Sabtu lalu, sebagaimana yang dilaporkan oleh Kementerian Luar Negeri China.

Wang menegaskan pentingnya segera mengakhiri bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza. Menurutnya, masalah Palestina merupakan inti dari ketegangan di Timur Tengah dan solusi dua negara akan menciptakan kesempatan bagi Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan secara damai. Wang juga menekankan bahwa pendekatan ini dapat mendorong hubungan yang lebih harmonis antara komunitas Arab dan Yahudi di kawasan tersebut.

China juga menunjukkan komitmennya untuk memainkan peran konstruktif dalam penyelesaian konflik, dengan tujuan menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk masalah Palestina. Selain itu, dalam konteks hubungan bilateral antara Beijing dan Tel Aviv, Wang menyatakan bahwa China melihat kerja sama dengan Israel sebagai upaya jangka panjang untuk memperkuat kemitraan inovatif yang saling menguntungkan.

Di tengah situasi ini, gencatan senjata telah diterapkan di Gaza sejak 19 Januari, menghentikan pertempuran yang telah merenggut lebih dari 48.200 nyawa warga Palestina, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang terkait konflik ini. Israel kini juga menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).

Categories
Berita Internasional Home

AS Tolak Permintaan Netanyahu, Desak Israel Mundur dari Lebanon Sebelum 18 Februari

Amerika Serikat dengan tegas menolak permintaan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk memperpanjang keberadaan militer Israel di Lebanon Selatan. Washington menegaskan bahwa pasukan Israel harus mundur sebelum tenggat waktu 18 Februari, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya, demikian dilaporkan oleh Jerusalem Post.

Meski Netanyahu berupaya meminta dukungan Presiden Donald Trump agar pasukan Israel tetap bertahan di lima titik strategis perbatasan, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menyatakan bahwa tidak akan ada perpanjangan waktu. “Penarikan pasukan Israel tetap berjalan sesuai jadwal, dan tidak ada permintaan resmi untuk memperpanjang batas waktu,” tegasnya. Sikap ini mengindikasikan adanya pergeseran kebijakan Trump yang semakin tegas terhadap operasi militer Israel di luar Gaza.

Sebelumnya, perjanjian gencatan senjata 60 hari yang dijadwalkan berakhir pada 27 Januari memberi Israel waktu untuk menarik pasukannya. Namun, hingga batas waktu tersebut, Israel belum mundur dengan alasan Angkatan Bersenjata Lebanon belum sepenuhnya dikerahkan di wilayah selatan. AS sempat memberikan tambahan waktu hingga 18 Februari, tetapi kini menolak penundaan lebih lanjut.

Di sisi lain, Lebanon menuduh Israel telah melanggar kesepakatan dan mengajukan protes ke Dewan Keamanan PBB. Media Lebanon melaporkan lebih dari 830 pelanggaran oleh Israel sejak gencatan senjata diberlakukan. Sementara itu, Morgan Ortagus, utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, menegaskan kembali kebijakan AS selama kunjungannya ke Lebanon dan Israel, di mana ia turut meninjau perbatasan utara bersama pejabat militer Israel.

Dalam perjanjian awal, Israel diwajibkan menarik pasukannya seiring dengan pengerahan tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB, sementara kelompok Hizbullah harus mundur ke utara Sungai Litani. Israel mengklaim bahwa Lebanon belum memenuhi kewajiban tersebut, namun Washington memastikan bahwa militer Lebanon akan siap sepenuhnya sebelum batas waktu yang telah disepakati.

Sikap Trump terhadap Lebanon juga menunjukkan adanya perubahan strategi dalam kebijakan luar negerinya, khususnya terkait Iran. Saat menandatangani kebijakan baru tentang sanksi maksimum terhadap Teheran, Trump menunjukkan ketidakinginannya dengan menyatakan, “Saya menandatangani ini, tetapi saya tidak senang melakukannya.” Lebih mengejutkan lagi, ia menegaskan bahwa tidak semua pemimpin Iran menginginkan senjata nuklir, sebuah pernyataan yang bertentangan dengan narasi Netanyahu yang selama ini menggambarkan Iran sebagai ancaman utama bagi stabilitas regional.

Menurut analis Trita Parsi, sikap ini menunjukkan bahwa Trump mungkin lebih tertarik untuk mencari kesepakatan diplomatik dengan Iran daripada sekadar memperketat sanksi. Langkah ini berpotensi mengguncang hubungan AS-Israel dan menggagalkan beberapa agenda strategis Netanyahu di kawasan Timur Tengah.