Lebih dari 1.000 nyawa melayang dalam pertempuran yang berlangsung sengit selama dua hari di wilayah pesisir Suriah. Lembaga pemantau konflik Syrian Observatory for Human Rights melaporkan pada Sabtu (8/3) bahwa jumlah korban jiwa mencakup 745 warga sipil, 125 anggota pasukan keamanan Suriah, dan 148 pendukung rezim Bashar al-Assad yang berasal dari kelompok Alawite. Namun, hingga saat ini, Reuters yang mengabarkan peristiwa ini belum dapat memverifikasi angka korban secara independen.
Kepala Syrian Observatory, Rami Abdulrahman, menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi di Jableh, Baniyas, dan daerah sekitarnya merupakan salah satu yang paling buruk dalam sejarah konflik Suriah yang sudah berlangsung lebih dari 13 tahun. Salah satu hal yang membuat bentrokan ini semakin mengerikan adalah fakta bahwa korban yang tewas termasuk perempuan dan anak-anak.
Bentrokan ini dimulai pada Kamis, 6 Maret, ketika pasukan pemerintah Suriah meluncurkan operasi besar-besaran setelah terjadinya pemberontakan kecil yang diduga dipicu oleh kelompok Alawite. Kelompok pendukung Assad ini sebelumnya melancarkan serangan mendadak yang menewaskan puluhan anggota pasukan keamanan Suriah. Respon dari pihak pemerintah berupa operasi militer yang awalnya dimaksudkan untuk menanggulangi serangan tersebut, namun akhirnya berujung pada kekacauan dan semakin banyak korban, dengan warga setempat dan pejuang lain turut terlibat, baik untuk membantu pasukan pemerintah maupun memperburuk kerusuhan.
Pihak berwenang Suriah mengakui bahwa ada pelanggaran yang terjadi selama operasi tersebut. Sebuah sumber dari Kementerian Pertahanan Suriah pada Sabtu mengungkapkan bahwa akses menuju wilayah pesisir telah ditutup untuk meredakan ketegangan. Pasukan keamanan juga telah dikerahkan di jalan-jalan wilayah tersebut. Selain itu, Kementerian Pertahanan Suriah membentuk komite darurat untuk menyelidiki pelanggaran dan memastikan siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi.
Bentrokan besar ini semakin memperburuk pertanyaan mengenai kemampuan pemerintahan baru Suriah untuk memerintah secara inklusif. Setelah Presiden Bashar al-Assad digulingkan pada bulan Desember lalu, Suriah kini berada di bawah kepemimpinan Ahmed Sharaa, yang menggantikan posisi Assad setelah berkuasa selama puluhan tahun dengan dinasti yang penuh dengan represi dan perang sipil.
Pada Jumat (7/3), dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi, Sharaa menekankan pentingnya pasukan keamanan untuk tidak merespons secara berlebihan. “Yang membedakan kita dari musuh adalah komitmen kita terhadap nilai-nilai kita,” kata Sharaa, seraya menambahkan bahwa jika mereka mengabaikan moralitas mereka, maka mereka akan sama saja dengan musuh mereka.
Meskipun pemerintah Suriah telah menyatakan bahwa mereka sedang berupaya untuk melindungi warga pesisir, situasi tetap mencekam. Sejumlah saksi mengungkapkan bahwa ribuan warga Alawite dan Kristen telah melarikan diri dari rumah mereka sejak Kamis karena ketakutan. Bahkan, beberapa ratus orang memilih untuk mengungsi ke pangkalan Rusia di Hmeimin, Latakia. Selain itu, laporan-laporan yang belum dapat dikonfirmasi oleh Reuters menyebutkan bahwa pembunuhan, perampokan, dan pembakaran rumah masih terjadi di Baniyas dan desa-desa sekitar sepanjang malam.