Categories
Berita Internasional Home

Israel Miliki Panglima Militer Baru, Target Utama: Kalahkan Hamas

Panglima militer baru Israel, Eyal Zamir, resmi dilantik pada Rabu, 5 Maret 2025, menggantikan Letnan Jenderal Herzi Halevi yang mengundurkan diri pada Januari lalu. Dalam acara pelantikannya, Zamir menegaskan komitmennya untuk mengalahkan Hamas Palestina, meskipun situasi politik dan ketegangan gencatan senjata masih belum pasti.

Dilansir dari Al Jazeera, Zamir menyatakan bahwa meskipun Hamas telah mendapatkan banyak pukulan berat, kelompok ini masih belum dikalahkan. “Misinya belum tercapai,” ujarnya dalam pidato pelantikan yang berlangsung di Tel Aviv. Pernyataan ini menggarisbawahi tekad Zamir untuk melanjutkan pertempuran melawan Hamas, yang menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda militernya.

Zamir, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur di Kementerian Pertahanan Israel, menyebut tahun 2025 sebagai “tahun pertempuran”. Menurut laporan media Israel, ia berencana untuk meningkatkan intensitas pertempuran di Gaza, yang menjadi fokus utama dalam strategi militer Israel. Media Israel Walla melaporkan bahwa saat ini, Zamir sedang merencanakan operasi darat berskala besar di Gaza, yang bertujuan untuk memberi tekanan lebih besar kepada Hamas.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga menyampaikan dukungannya terhadap Zamir dalam pidato yang dihadiri pada pelantikan tersebut, menegaskan bahwa Israel tetap bertekad untuk meraih kemenangan dalam perang. “Kami akan memastikan kemenangan,” kata Netanyahu.

Selain Gaza, Zamir juga akan memikul tanggung jawab terhadap strategi serangan Israel di Tepi Barat, yang dalam beberapa minggu terakhir telah menghadapi serangan-serangan dari berbagai pihak. Karir militer Zamir sangat berpengalaman, dengan latar belakang sebagai perwira dalam pertempuran Intifada Kedua dan menjabat sebagai sekretaris militer Netanyahu antara 2012 hingga 2015.

Zamir dikenal sebagai pendiri Israel Defence and Security Forum, sebuah lembaga think tank yang berhaluan kanan, dan telah mendesak kebijakan yang lebih agresif terhadap Iran dan sekutunya. Beberapa sumber keamanan Israel menyebutkan bahwa kemungkinan besar Zamir akan memperluas serangan darat di Gaza dan menduduki wilayah tersebut lebih lama.

Pelantikan Zamir ini terjadi di tengah ketegangan terkait gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas, yang telah berlangsung sejak 19 Januari 2025. Meskipun kedua belah pihak sepakat untuk memasuki fase kedua dari gencatan senjata tersebut, belum ada kejelasan mengenai kelanjutan perundingan. Israel bertekad untuk memperpanjang fase pertama gencatan, yang sebenarnya sudah berakhir pada 2 Maret, namun Hamas menolak untuk melanjutkan dan hanya ingin beralih ke fase kedua sesuai kesepakatan awal.

Dengan situasi yang masih penuh ketidakpastian, pelantikan Zamir menjadi sorotan besar, mengingat rencana-rencana agresif yang kemungkinan akan memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.

Categories
Berita Internasional Home

Militer Israel Lancarkan Serangan ke Dua Posisi Roket Gaza

Ketegangan di Jalur Gaza kembali meningkat setelah militer Israel mengklaim telah menyerang dua lokasi peluncuran roket di wilayah tersebut pada Senin (24/2). Serangan ini terjadi setelah proyektil dilaporkan ditembakkan dari salah satu lokasi di Gaza dan jatuh di dalam wilayah Palestina.

Dalam pernyataan resminya, militer Israel menyebut bahwa serangan ini merupakan yang ketiga kalinya dalam dua pekan terakhir, dengan dalih menargetkan lokasi yang dianggap sebagai ancaman keamanan.

“Kami telah mengidentifikasi peluncuran proyektil yang jatuh di dalam Jalur Gaza. Oleh karena itu, pasukan kami menyerang lokasi peluncuran tempat proyektil ditembakkan, serta titik peluncuran lainnya di wilayah tersebut,” ujar perwakilan militer Israel.

Aksi militer ini terjadi di tengah gencatan senjata yang rapuh dalam konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas. Gencatan senjata yang pertama kali disepakati pada 19 Januari lalu diperkirakan akan berakhir pada awal Maret, sementara kesepakatan mengenai tahap selanjutnya belum juga tercapai.

Netanyahu Ancam Lanjutkan Perang, Hamas Tolak Perundingan Gencatan Senjata

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa negaranya siap kembali melanjutkan perang kapan saja, menyusul penangguhan pembebasan tahanan Palestina yang sebelumnya menjadi bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

Hingga saat ini, sejak kesepakatan tersebut berlaku, kelompok militan di Gaza telah membebaskan 25 sandera Israel sebagai bagian dari pertukaran dengan lebih dari 1.100 tahanan Palestina yang dilepaskan dari penjara Israel. Namun, Netanyahu memutuskan untuk menunda pembebasan 602 tahanan Palestina, dengan alasan Hamas telah melanggar kesepakatan.

Netanyahu menyebut bahwa Hamas menyerahkan para sandera Israel dengan cara yang dianggap “memalukan”, serta menggunakan peristiwa tersebut sebagai bagian dari propaganda politik mereka.

Menanggapi tindakan Israel, Hamas memperingatkan bahwa keputusan ini dapat mengancam keseluruhan perjanjian gencatan senjata. Hamas juga menegaskan bahwa mereka tidak akan melanjutkan perundingan tahap kedua, kecuali Israel terlebih dahulu membebaskan 602 tahanan Palestina yang masih ditahan.

Ancaman Eskalasi Baru di Gaza

Keputusan Israel untuk melancarkan serangan ke Gaza di tengah proses gencatan senjata membuka kemungkinan terjadinya konflik berskala lebih besar. Dengan belum adanya kesepakatan mengenai fase lanjutan, potensi pecahnya kembali pertempuran antara Israel dan Hamas semakin meningkat.

Komunitas internasional kini menyoroti perkembangan situasi ini, dengan berbagai pihak menyerukan agar kedua belah pihak menahan diri guna menghindari eskalasi konflik yang lebih luas. Namun, tanpa kejelasan mengenai masa depan gencatan senjata, Gaza tetap berada dalam bayang-bayang perang yang bisa meletus kapan saja.

Categories
Berita Internasional Home

Netanyahu Dituding Hamas sebagai Penghambat Gencatan Senjata

Kelompok Hamas mengklaim bahwa hingga kini pembicaraan dengan Israel mengenai tahap kedua kesepakatan gencatan senjata di Gaza belum juga dimulai. Juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanou, menuding Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sengaja memperlambat proses implementasi perjanjian tersebut untuk kepentingan politiknya.

Menurut al-Qanou, Hamas masih menunggu Israel memenuhi seluruh ketentuan dalam “protokol kemanusiaan” yang telah disepakati sebelumnya. Ia juga menegaskan bahwa pihaknya siap menjalankan perjanjian tersebut sepenuhnya, termasuk setiap tahapan yang telah dirancang dalam kesepakatan awal.

Lebih lanjut, Hamas menuduh Israel menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Bantuan tersebut mencakup fasilitas penampungan sementara seperti rumah mobil dan tenda, serta alat berat yang diperlukan untuk membantu warga sipil yang terdampak konflik. Padahal, menurut Hamas, seluruh bantuan itu merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata tahap pertama, yang seharusnya sudah terealisasi.

Ketegangan Memuncak Setelah Pemulangan Jenazah

Pernyataan Hamas ini muncul beberapa jam sebelum militer Israel mengumumkan bahwa satu dari empat jenazah yang dipulangkan dari Gaza pada Kamis (20/2/2025) ternyata bukan tawanan seperti yang sebelumnya diperkirakan. Hingga saat ini, Hamas belum memberikan tanggapan resmi terhadap klaim tersebut.

Sebelumnya, al-Qanou juga menuding Israel menggunakan senjata yang dilarang secara internasional terhadap warga sipil Palestina. Selain itu, ia mengecam kebijakan pemerintah Israel yang disebutnya berusaha melucuti persenjataan kelompok perlawanan Palestina serta menekan perjuangan rakyat Gaza.

Sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan, al-Qanou menyerukan pembentukan komite investigasi internasional untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel. Hamas menegaskan bahwa mereka akan terus membela hak-hak rakyat Palestina dan mendesak komunitas internasional untuk segera bertindak guna menghentikan konflik yang berkepanjangan ini.

Dengan belum adanya kejelasan mengenai tahap kedua gencatan senjata, hubungan antara Hamas dan Israel tetap tegang. Situasi ini semakin mempersulit upaya perdamaian, sementara warga sipil di Gaza terus menghadapi kondisi yang semakin mengkhawatirkan.

Categories
Berita Internasional Home

Misi Perdamaian! Rusia dan AS Duduk Bersama di Arab Saudi

Rusia dan Amerika Serikat akhirnya menyepakati pembentukan tim perundingan guna mencari solusi dalam menghentikan konflik berkepanjangan di Ukraina. Kesepakatan ini diumumkan pada Selasa (18/2/2025) setelah berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi pertama antara Washington dan Moskwa sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Langkah ini menjadi titik penting dalam dinamika geopolitik global, tetapi sekaligus memicu kekhawatiran dari beberapa pemimpin Eropa, yang khawatir akan adanya perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Kekhawatiran Eropa dan Kekecewaan Ukraina

Negosiasi ini memunculkan pertanyaan besar bagi sekutu Amerika di Eropa. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa Washington mungkin akan memberikan konsesi besar kepada Moskwa, yang berpotensi mengubah keseimbangan keamanan di kawasan, mirip dengan era Perang Dingin. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga meluapkan kekecewaannya atas tidak diundangnya Kyiv dalam pembicaraan tersebut.

“Setiap upaya perundingan yang bertujuan mengakhiri perang seharusnya melibatkan negara-negara Eropa, termasuk Turkiye yang sebelumnya menawarkan diri sebagai tuan rumah perundingan,” ujar Zelensky dengan nada tegas. Salah satu pejabat senior Ukraina yang enggan disebutkan namanya bahkan menyebut negosiasi ini hanya akan menguntungkan Presiden Rusia Vladimir Putin, karena dilakukan tanpa partisipasi langsung dari Ukraina.

Trump Optimistis, Tapi Kritik Ukraina

Presiden Donald Trump, dalam konferensi pers di Mar-a-Lago, Florida, mengungkapkan keyakinannya bahwa pembicaraan ini dapat membawa solusi damai bagi konflik di Ukraina.

“Saya percaya bahwa saya memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang ini,” ujar Trump dengan penuh optimisme. Namun, ia juga melontarkan kritik tajam terhadap Ukraina yang mengeluhkan tidak diundang ke meja perundingan.

“Hari ini saya mendengar, ‘Oh, kami tidak diundang.’ Kalian sudah terlibat dalam konflik ini selama tiga tahun, jadi mengapa harus mengeluh?” kata Trump, menyoroti panjangnya perang yang belum juga menemukan titik terang.

Kesepakatan Rusia-AS dan Prospek Hubungan Diplomatik

Dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyepakati pembentukan tim perundingan tingkat tinggi yang akan segera bekerja untuk menemukan solusi bagi konflik di Ukraina. Selain itu, kedua negara juga sepakat untuk membangun mekanisme konsultasi dalam rangka memperbaiki hubungan bilateral, yang selama ini mengalami ketegangan akibat berbagai sanksi dan konflik kepentingan di panggung global.

Sementara itu, Yuri Ushakov, penasihat kebijakan luar negeri Presiden Vladimir Putin, mengonfirmasi bahwa Moskwa telah menunjuk perwakilan untuk perundingan ini. Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah Putin dan Trump akan bertemu secara langsung dalam waktu dekat.

Trump sendiri tidak menutup kemungkinan adanya pertemuan tatap muka dengan Putin sebelum akhir bulan ini, meski belum memberikan rincian lebih lanjut.

Moskwa Lihat Peluang Baru Setelah Isolasi Barat

Perundingan di Riyadh, Arab Saudi, dianggap sebagai langkah strategis bagi Rusia, yang dalam tiga tahun terakhir mengalami isolasi dari negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden. Kirill Dmitriev, seorang negosiator ekonomi Rusia, menilai bahwa upaya negara-negara Barat untuk memutus hubungan Rusia dengan dunia internasional telah gagal.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov turut menyuarakan optimisme atas hasil pertemuan ini.

“Kami tidak hanya saling mendengarkan, tetapi juga mulai memahami sudut pandang masing-masing. Saya percaya bahwa pihak Amerika kini lebih memahami posisi Rusia dalam konflik ini,” ujar Lavrov kepada awak media.

Namun, ia juga menegaskan bahwa Moskwa menolak kemungkinan pengerahan pasukan NATO ke Ukraina sebagai bagian dari potensi kesepakatan gencatan senjata.

Dengan perundingan yang mulai bergerak maju, dunia kini menanti bagaimana langkah Rusia dan Amerika Serikat selanjutnya dalam menentukan arah perang di Ukraina. Apakah kesepakatan ini benar-benar bisa membawa perdamaian, atau justru menciptakan babak baru dalam ketegangan geopolitik global?

Categories
Berita Internasional Home

Dukungan Penuh! Inggris Siap Kerahkan Pasukan ke Ukraina Jika Diperlukan

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menegaskan kesiapan negaranya untuk mengerahkan pasukan ke Ukraina jika situasi menuntutnya. Pernyataan ini disampaikan sebagai bagian dari komitmen Inggris dalam menjaga stabilitas dan keamanan Eropa di tengah konflik yang masih berlangsung antara Ukraina dan Rusia.

Dalam artikelnya yang diterbitkan di Daily Telegraph pada Minggu (16/2/2025), Starmer menegaskan bahwa Inggris akan terus memberikan dukungan penuh kepada Ukraina. “Kami siap berkontribusi dalam menjamin keamanan Ukraina, termasuk dengan menempatkan pasukan kami di lapangan jika diperlukan,” tulisnya.

Ia menambahkan bahwa memastikan keamanan Ukraina berarti juga melindungi kepentingan Eropa, termasuk Inggris. Starmer dijadwalkan menghadiri pertemuan tingkat tinggi di Paris pada Senin (17/2/2025), di mana para pemimpin Eropa akan membahas dinamika terbaru perang di Ukraina serta peran Amerika Serikat dalam upaya mencapai solusi damai.

Diplomasi Starmer: Pertemuan dengan Trump dan Pemimpin Eropa

Selain menghadiri pertemuan di Paris, Starmer juga dijadwalkan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam beberapa hari mendatang. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat hubungan transatlantik dan memastikan bahwa Eropa serta AS tetap bersatu dalam mendukung Ukraina.

Menurut Starmer, dukungan AS tetap menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas di Eropa dan mencegah agresi lebih lanjut dari Rusia. “Peran Amerika Serikat sangat krusial dalam menjamin keamanan jangka panjang. Hanya AS yang memiliki kapasitas untuk mencegah Putin melakukan serangan lagi,” ungkapnya, merujuk pada Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Pertemuan tingkat tinggi di Paris akan dihadiri oleh para pemimpin dari Jerman, Italia, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Denmark. Forum ini berlangsung menjelang peringatan tiga tahun sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari mendatang.

Kekhawatiran Eropa dan Ancaman Pengaruh Moskwa

Negara-negara Eropa semakin waspada terhadap kemungkinan bahwa Ukraina akan dipaksa menerima kesepakatan yang lebih menguntungkan Rusia jika tekanan dari Washington meningkat. Jika skenario tersebut terjadi, Putin berpotensi mengklaim kemenangan dan memperluas pengaruhnya di kawasan Eropa Timur.

Starmer memperingatkan bahwa situasi saat ini merupakan momen krusial dalam sejarah keamanan benua Eropa. “Kita berada di titik penting dalam upaya menjaga keamanan kolektif Eropa. Ini bukan hanya tentang masa depan Ukraina, tetapi juga menyangkut stabilitas dan keberlangsungan perdamaian di seluruh Eropa,” tulisnya dalam artikelnya.

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, pertemuan di Paris diperkirakan akan menjadi momen penting dalam menentukan langkah strategis Eropa dan sekutunya dalam menghadapi ancaman Rusia serta mempertahankan keseimbangan geopolitik di kawasan.

Categories
Berita Internasional Berita Nasional Home

Kemlu: Tidak Ada Komunikasi Resmi dengan Hamas Terkait Tahanan Palestina

Kelompok Hamas baru-baru ini mengungkapkan bahwa mereka telah berkomunikasi dengan beberapa negara, termasuk Indonesia, mengenai kemungkinan penampungan bagi para tahanan Palestina yang dibebaskan oleh Israel. Namun, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) memberikan klarifikasi bahwa hingga saat ini, belum ada komunikasi resmi terkait masalah ini.

Kemlu RI menegaskan, “Hingga saat ini, tidak ada komunikasi resmi melalui jalur diplomatik antara Indonesia dan pihak terkait mengenai isu tersebut.” Mereka juga menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia terus berkomunikasi dengan Palestinian National Authority (PNA), yang memegang otoritas pemerintahan Palestina.

Sebelumnya, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa Pakistan merupakan salah satu dari empat negara yang telah setuju untuk menampung para tahanan Palestina yang dibebaskan melalui proses pertukaran sandera. Negara-negara lain yang dilaporkan siap menampung adalah Turki, Qatar, dan Malaysia. Namun, Kemlu RI mengonfirmasi bahwa Indonesia belum mengambil langkah terkait penampungan tersebut.

Kesepakatan gencatan senjata enam minggu yang mengakhiri perang selama 15 bulan antara Israel dan Hamas termasuk pengembalian pengungsi Palestina ke Gaza utara dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Gaza tengah. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Hamas berjanji untuk membebaskan 33 sandera Israel, yang mencakup wanita, anak-anak, dan pria di atas 50 tahun, sementara Israel setuju membebaskan 30 tahanan Palestina untuk setiap sandera sipil dan 50 tahanan Palestina untuk setiap tentara wanita Israel yang dibebaskan.

Proses pembebasan tahanan ini sudah dimulai, dengan 99 orang telah dideportasi ke Mesir, sementara 263 tahanan lainnya diperkirakan akan dibebaskan dalam tahap selanjutnya. Selain itu, laporan dari kantor berita Palestina Quds Press menyebutkan bahwa 15 tahanan Palestina telah tiba di Turki pada Selasa (4/2/2025) setelah sebelumnya dideportasi dari Kairo, Mesir.

Perhatian publik Indonesia kini tertuju pada perkembangan lebih lanjut terkait keterlibatan negara dalam penampungan tahanan Palestina, meskipun Kemlu RI menegaskan bahwa keputusan resmi terkait masalah ini belum diambil.

Categories
Berita Internasional Berita Nasional Home

Indonesia Diminta Hamas Tampung Tahanan Palestina Setelah Pembebasan oleh Israel

Hamas dilaporkan tengah melobi sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk bersedia menampung para tahanan Palestina yang dibebaskan Israel dalam rangka kesepakatan gencatan senjata yang dicapai di Gaza. Menurut laporan kantor berita Palestina, Quds Press, yang dekat dengan Hamas, Pakistan telah menjadi salah satu negara yang setuju untuk menerima tahanan Palestina, sementara negara-negara lain yang telah menyatakan persetujuannya termasuk Turki, Qatar, dan Malaysia.

Kesepakatan Gencatan Senjata yang Berdampak pada Tahanan Palestina

Gencatan senjata yang berlangsung selama enam minggu ini mengakhiri perang yang sudah berlangsung lebih dari 15 bulan antara Israel dan Hamas. Salah satu bagian utama dari kesepakatan ini adalah Hamas berkomitmen untuk membebaskan 33 sandera Israel, termasuk wanita, anak-anak, dan pria berusia lebih dari 50 tahun. Sebagai imbalannya, Israel setuju untuk membebaskan 30 tahanan Palestina untuk setiap sandera sipil Israel yang dibebaskan, serta 50 tahanan Palestina untuk setiap tentara wanita Israel yang dibebaskan oleh Hamas.

Selama proses pembebasan ini, 99 tahanan Palestina yang sudah dibebaskan oleh Israel telah dipindahkan ke Mesir, sementara 263 tahanan lainnya diharapkan akan dibebaskan setelah selesainya tahap pertama. Pada hari Selasa, 15 tahanan Palestina dijadwalkan akan tiba di Turki setelah dipindahkan dari ibu kota Mesir, Kairo.

Negosiasi dengan Negara Lain untuk Menampung Tahanan Palestina

Hamas juga sedang dalam pembicaraan dengan negara-negara lain seperti Aljazair dan Indonesia untuk menampung sisa tahanan Palestina yang dibebaskan. Meski demikian, Tunisia sejauh ini telah menolak untuk menjadi negara penampung, sementara Indonesia belum memberikan komentar resmi terkait hal ini. Laporan ini muncul di tengah perundingan mengenai tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata, yang bertujuan untuk membebaskan sandera Israel yang tersisa dan menarik pasukan Israel secara penuh dari Gaza.

Perang yang Menghancurkan dan Dampaknya

Perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 ini dimulai setelah serangan besar-besaran dari Hamas terhadap Israel, yang mengakibatkan sekitar 1.200 warga Israel tewas dan 251 orang lainnya dibawa sebagai sandera ke Gaza. Serangan tersebut memicu serangan balasan militer dari Israel yang menewaskan lebih dari 47.000 warga Palestina, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Palestina yang dikelola oleh Hamas. Kerusakan besar juga terjadi di Gaza, dengan ribuan bangunan, rumah, sekolah, dan rumah sakit hancur akibat pengeboman yang tiada henti dari pasukan Israel.

Perundingan yang tengah berlangsung ini menjadi bagian penting dari upaya untuk mengakhiri kekerasan yang telah menghancurkan Gaza dan menciptakan ketegangan yang semakin meningkat di kawasan Timur Tengah.