Categories
Berita Internasional Home

Kenali Mark Carney, Sosok yang Disebut-sebut Jadi PM Baru Kanada

Ottawa – Partai Liberal Kanada telah menetapkan Mark Carney sebagai pemimpin baru, menggantikan Justin Trudeau yang mengundurkan diri dari jabatannya pada Januari 2025. Carney meraih kemenangan telak dalam pemilihan internal yang berlangsung pada Minggu (9/3/2025), dengan perolehan 86 persen suara, mengalahkan pesaing terdekatnya, Chrystia Freeland, mantan Menteri Keuangan Kanada.

Pemilihan ini diikuti oleh sekitar 152.000 anggota Partai Liberal. Dengan kemenangan tersebut, Carney kini bersiap untuk memimpin Kanada ke arah baru. Namun, siapakah sosok Carney, dan bagaimana rekam jejaknya di dunia ekonomi dan perbankan?

Perjalanan Karier Mark Carney di Dunia Ekonomi

Mark Carney dilahirkan pada 16 Maret 1965 di Fort Smith, wilayah Northwest Territories, Kanada. Ia merupakan seorang ekonom berpengaruh yang telah memegang posisi penting di dunia keuangan internasional. Carney pernah menjabat sebagai Gubernur Bank of Canada (BOC) dari 2008 hingga 2013, serta Gubernur Bank of England (BOE) dari 2013 hingga 2020—menjadikannya orang pertama di luar Inggris yang memegang jabatan tersebut.

Pendidikan tinggi Carney dimulai di Universitas Harvard, tempat ia meraih gelar sarjana ekonomi pada 1988. Ketertarikannya terhadap ekonomi semakin berkembang setelah mendengar ceramah dari ekonom ternama, John Kenneth Galbraith. Ia kemudian melanjutkan studi ke Universitas Oxford, meraih gelar M.Phil. pada 1993 dan D.Phil. pada 1995.

Sebelum berkarier di pemerintahan, Carney bekerja di perusahaan investasi global Goldman Sachs, di mana ia berperan dalam beberapa proyek besar, termasuk membantu Afrika Selatan mengakses pasar obligasi internasional pasca-apartheid dan menjadi penasihat keuangan bagi Rusia saat mengalami krisis ekonomi pada 1998.

Pada 2000, ia kembali ke Kanada dan mulai terlibat dalam kebijakan ekonomi nasional. Kariernya terus menanjak hingga akhirnya dipercaya sebagai Gubernur Bank of Canada pada 2008, tepat saat dunia menghadapi krisis keuangan global.

Kebijakan Berani di Tengah Krisis Global

Sebagai Gubernur Bank of Canada, Carney dikenal karena pendekatannya yang cepat dan strategis dalam menghadapi krisis ekonomi 2008. Salah satu langkah beraninya adalah menurunkan suku bunga sebesar 0,5 persen, bahkan sebelum negara lain mengambil tindakan serupa.

Pada April 2009, ia kembali mengambil langkah progresif dengan berjanji mempertahankan suku bunga rendah selama 12 bulan guna menjaga stabilitas pasar kredit dan meningkatkan kepercayaan bisnis. Keputusannya terbukti berhasil, membuat Kanada menjadi salah satu negara anggota G7 yang mampu pulih lebih cepat dibandingkan negara lainnya.

Kepiawaiannya dalam mengelola ekonomi membawa Carney ke panggung internasional. Selanjutnya, ia diberikan amanah untuk memimpin Komite Sistem Keuangan Global di Bank for International Settlements, serta menjabat sebagai Ketua Dewan Stabilitas Keuangan yang berpusat di Swiss.

Pada 2012, ia kembali mencetak sejarah ketika Menteri Keuangan Inggris George Osborne menunjuknya sebagai Gubernur Bank of England (BOE), menjadikannya orang non-Inggris pertama yang menduduki posisi tersebut.

Tantangan Memimpin Inggris di Tengah Gejolak Brexit

Saat mengambil alih jabatan di BOE pada 2013, Inggris sedang berupaya bangkit dari krisis ekonomi 2008. Carney menerapkan strategi “panduan ke depan”, yakni mempertahankan suku bunga rendah hingga angka pengangguran turun di bawah 7 persen.

Namun, tantangan terbesar datang pada 2016, ketika Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa (Brexit). Ketidakpastian pasar dan kekhawatiran ekonomi pasca-referendum membuat Carney harus mengambil kebijakan yang lebih hati-hati untuk menjaga stabilitas keuangan Inggris.

Ia tetap menjabat sebagai Gubernur BOE hingga 2020, sebelum akhirnya kembali ke Kanada dan semakin aktif dalam kebijakan publik serta isu-isu lingkungan.

Era Baru Kepemimpinan di Kanada

Kini, dengan pengalaman luasnya dalam ekonomi dan keuangan global, Mark Carney dipercaya untuk memimpin Partai Liberal Kanada. Keberhasilannya dalam menghadapi krisis keuangan global dan dinamika ekonomi internasional menjadi modal penting dalam membawa Kanada ke arah yang lebih stabil dan progresif.

Dengan kepemimpinannya, publik menantikan bagaimana kebijakan ekonomi Carney akan diterapkan di Kanada, serta bagaimana ia akan menghadapi tantangan politik dan ekonomi yang ada pasca-kepemimpinan Justin Trudeau.

Categories
Berita Internasional

Trump Ajak Iran Kembali Berunding, Kirim Surat ke Khamenei

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengungkapkan bahwa dirinya telah mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, untuk mendorong negosiasi baru terkait program nuklir Iran. Trump juga memberikan peringatan bahwa jika negosiasi tidak dilakukan, tindakan militer bisa menjadi opsi yang diambil.

Dilansir dari AFP, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa negaranya tidak akan berunding selama AS tetap menerapkan kebijakan “tekanan maksimum”. Meski begitu, Iran tidak secara langsung menanggapi klaim Trump mengenai surat yang dikirimkan kepada Khamenei.

Perubahan Sikap Trump dan Posisi AS yang Dilema

Pendekatan yang diambil oleh Trump ini menandai pergeseran sikap dari kebijakan kerasnya saat pertama kali menjabat sebagai Presiden AS. Langkah ini juga berpotensi menempatkan Washington dalam posisi yang sulit, terutama dengan sekutunya, Israel, yang tahun lalu melakukan serangan bom terhadap Iran.

“Semoga kita bisa mencapai kesepakatan damai,” ujar Trump saat berbicara kepada wartawan di Gedung Putih pada Jumat (7/3). Ia juga menambahkan bahwa situasi terkait program nuklir Iran telah memasuki tahap krusial.

“Saya lebih memilih jalur diplomasi dibanding opsi lain,” kata Trump, merujuk pada kemungkinan aksi militer. “Namun, jika opsi lain harus dilakukan, maka itu akan menjadi solusi akhir atas permasalahan ini.”

Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan Fox Business, Trump menyebutkan bahwa dalam suratnya kepada Khamenei, ia menyampaikan pesan:
“Saya harap Anda mau bernegosiasi, karena jika kita harus bertindak secara militer, itu akan menjadi situasi yang sangat buruk bagi mereka.”

Namun, hingga saat ini belum jelas bagaimana surat tersebut dikirim, karena perwakilan Iran di PBB mengklaim belum menerimanya.

Riwayat Ketegangan AS-Iran dalam Isu Nuklir

Kesepakatan nuklir Iran pertama kali dinegosiasikan oleh mantan Presiden AS, Barack Obama, pada tahun 2015. Perjanjian tersebut menawarkan keringanan sanksi bagi Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.

Namun, pada tahun 2018, Trump—yang saat itu menjabat sebagai presiden—memutuskan untuk menarik AS dari kesepakatan tersebut dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Iran, meski mendapat keberatan dari sekutu Eropa. Iran, yang berulang kali membantah sedang mengembangkan senjata nuklir, sempat mematuhi perjanjian itu tetapi kemudian membatalkan komitmennya setelah AS keluar dari kesepakatan.

Saat ini, menurut pejabat AS, Iran diperkirakan hanya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mampu membuat bom nuklir jika mereka memutuskan untuk melakukannya.

Strategi Trump Pasca Kembali ke Gedung Putih

Sekembalinya ke Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa ia akan kembali menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran, meskipun dengan sikap yang lebih berhati-hati.

Sejak itu, ia juga mengganti beberapa pejabat dari masa kepemimpinannya sebelumnya dan berjanji untuk menjauh dari kelompok-kelompok kebijakan luar negeri yang dianggapnya sebagai penghasut konflik internasional.

Di sisi lain, miliarder Elon Musk, yang dikenal sebagai sekutu dekat Trump, dilaporkan telah bertemu dengan duta besar Iran untuk PBB tak lama setelah pemilu. Pertemuan tersebut disebut-sebut sebagai bagian dari upaya Trump untuk menyampaikan pesan bahwa ia menginginkan stabilitas dan jalur diplomasi dalam hubungan dengan Iran.

Categories
Berita Internasional Home

Greenland Menolak AS, Siapa Sebenarnya Etnis Mayoritasnya?

Keinginan Amerika Serikat untuk menjadikan Greenland sebagai bagian dari wilayahnya tampaknya tidak mendapat dukungan dari mayoritas penduduk setempat. Berdasarkan jajak pendapat terbaru yang dilakukan oleh Verian, hasilnya menunjukkan bahwa 85 persen warga Greenland menolak bergabung dengan AS.

Jajak pendapat ini dilakukan oleh dua surat kabar Denmark, Berlingske dan Greenland Sermitsiaq, yang juga mengungkap bahwa hanya 6 persen dari warga yang setuju jika Greenland lepas dari Denmark dan menjadi bagian dari AS. Sementara itu, 9 persen lainnya belum menentukan sikap terkait isu ini.

Pandangan Beragam Terkait Ambisi AS

Selain menolak rencana tersebut, jajak pendapat juga mencatat bahwa 45 persen warga Greenland menganggap ambisi AS sebagai ancaman, sementara 43 persen lainnya melihatnya sebagai peluang. Adapun 13 persen warga memilih untuk abstain dalam jajak pendapat ini.

Profesor ilmu politik dari University of Copenhagen, Moller Hansen, menilai survei ini sebagai langkah penting dalam memahami sikap warga Greenland terhadap isu geopolitik yang tengah berkembang.

“Ini merupakan jajak pendapat pertama yang secara langsung menanyakan pendapat populasi Greenland mengenai masa depan wilayah mereka. Hasilnya menunjukkan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak ingin menjadi bagian dari Amerika,” kata Hansen, dikutip dari AFP.

Hasil survei ini muncul tidak lama setelah Donald Trump, dalam pidato perdananya di Kongres pada Selasa (4/3), kembali menegaskan ambisinya untuk mengakuisisi Greenland dari Denmark. Ia bahkan mengklaim bahwa warga Greenland akan menjadi lebih makmur jika berada di bawah pemerintahan AS.

Greenland: Pulau Luas dengan Penduduk Minim

Greenland merupakan pulau terbesar di dunia yang tidak masuk dalam kategori benua. Dengan luas mencapai 2,16 juta kilometer persegi, wilayah ini bahkan lebih besar dari gabungan beberapa negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, dan Inggris.

Sejak tahun 1979, Greenland berstatus sebagai wilayah otonom Denmark dengan pemerintahan sendiri. Namun, jaraknya yang mencapai 3.500 kilometer dari Copenhagen membuatnya memiliki hubungan yang cukup unik dengan Denmark.

Terlepas dari namanya yang berarti Tanah Hijau, sekitar 80 persen wilayah Greenland tertutup oleh lapisan es. Meski memiliki luas yang sangat besar, pulau ini hanya dihuni oleh sekitar 56.000 orang, menjadikannya salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk paling rendah di dunia.

Siapa Penduduk Asli Greenland?

Penduduk asli Greenland berasal dari suku Inuit, yang telah mendiami wilayah ini sejak sekitar 4.500 tahun yang lalu. Mereka berasal dari daerah yang kini dikenal sebagai Alaska dan Kanada, bermigrasi ke Greenland saat wilayah tersebut masih terhubung oleh lapisan es.

Menurut catatan Britannica, Greenland pertama kali dihuni oleh budaya kuno seperti Saqqaq, Dorset, dan Thule, di mana budaya Thule menjadi nenek moyang langsung bagi Inuit modern yang saat ini tinggal di Greenland.

Selain Inuit, bangsa Viking Norse yang dipimpin oleh Erik the Red juga sempat mendirikan pemukiman di Greenland pada abad ke-10. Namun, pemukiman Viking tersebut akhirnya punah pada abad ke-15.

Bahasa, Kehidupan, dan Ekonomi di Greenland

Bahasa resmi yang digunakan oleh penduduk setempat adalah Greenlandic (Kalaallisut), meskipun banyak warga juga fasih berbahasa Danish dan Inggris.

Ibu kota Greenland, Nuuk, merupakan kota terbesar sekaligus pusat pemerintahan, dengan populasi sekitar 19.000 jiwa. Jika dibandingkan, jumlah ini bahkan lebih kecil dari penduduk di satu kecamatan di Jakarta Selatan.

Meskipun modernisasi mulai berkembang, sebagian besar masyarakat Greenland masih mengandalkan perburuan dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama.

Dengan posisi geopolitik yang strategis dan sumber daya alam yang kaya, Greenland menjadi wilayah yang banyak dilirik oleh negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat. Namun, berdasarkan hasil survei terbaru, mayoritas penduduknya masih ingin tetap berada di bawah naungan Denmark.

Categories
Berita Internasional Home

Israel Miliki Panglima Militer Baru, Target Utama: Kalahkan Hamas

Panglima militer baru Israel, Eyal Zamir, resmi dilantik pada Rabu, 5 Maret 2025, menggantikan Letnan Jenderal Herzi Halevi yang mengundurkan diri pada Januari lalu. Dalam acara pelantikannya, Zamir menegaskan komitmennya untuk mengalahkan Hamas Palestina, meskipun situasi politik dan ketegangan gencatan senjata masih belum pasti.

Dilansir dari Al Jazeera, Zamir menyatakan bahwa meskipun Hamas telah mendapatkan banyak pukulan berat, kelompok ini masih belum dikalahkan. “Misinya belum tercapai,” ujarnya dalam pidato pelantikan yang berlangsung di Tel Aviv. Pernyataan ini menggarisbawahi tekad Zamir untuk melanjutkan pertempuran melawan Hamas, yang menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda militernya.

Zamir, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur di Kementerian Pertahanan Israel, menyebut tahun 2025 sebagai “tahun pertempuran”. Menurut laporan media Israel, ia berencana untuk meningkatkan intensitas pertempuran di Gaza, yang menjadi fokus utama dalam strategi militer Israel. Media Israel Walla melaporkan bahwa saat ini, Zamir sedang merencanakan operasi darat berskala besar di Gaza, yang bertujuan untuk memberi tekanan lebih besar kepada Hamas.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga menyampaikan dukungannya terhadap Zamir dalam pidato yang dihadiri pada pelantikan tersebut, menegaskan bahwa Israel tetap bertekad untuk meraih kemenangan dalam perang. “Kami akan memastikan kemenangan,” kata Netanyahu.

Selain Gaza, Zamir juga akan memikul tanggung jawab terhadap strategi serangan Israel di Tepi Barat, yang dalam beberapa minggu terakhir telah menghadapi serangan-serangan dari berbagai pihak. Karir militer Zamir sangat berpengalaman, dengan latar belakang sebagai perwira dalam pertempuran Intifada Kedua dan menjabat sebagai sekretaris militer Netanyahu antara 2012 hingga 2015.

Zamir dikenal sebagai pendiri Israel Defence and Security Forum, sebuah lembaga think tank yang berhaluan kanan, dan telah mendesak kebijakan yang lebih agresif terhadap Iran dan sekutunya. Beberapa sumber keamanan Israel menyebutkan bahwa kemungkinan besar Zamir akan memperluas serangan darat di Gaza dan menduduki wilayah tersebut lebih lama.

Pelantikan Zamir ini terjadi di tengah ketegangan terkait gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas, yang telah berlangsung sejak 19 Januari 2025. Meskipun kedua belah pihak sepakat untuk memasuki fase kedua dari gencatan senjata tersebut, belum ada kejelasan mengenai kelanjutan perundingan. Israel bertekad untuk memperpanjang fase pertama gencatan, yang sebenarnya sudah berakhir pada 2 Maret, namun Hamas menolak untuk melanjutkan dan hanya ingin beralih ke fase kedua sesuai kesepakatan awal.

Dengan situasi yang masih penuh ketidakpastian, pelantikan Zamir menjadi sorotan besar, mengingat rencana-rencana agresif yang kemungkinan akan memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.

Categories
Berita Internasional Home

Bikin Geger! Murid SMP Kompak Tato di Kelas, Guru Tak Bertindak?

Sebuah insiden mengejutkan terjadi di Travis Intermediate School, Texas, yang melibatkan sejumlah siswa yang membuat tato di dalam kelas menggunakan jarum yang sama. Kejadian ini memicu kekhawatiran serius terkait potensi penyebaran penyakit menular, seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

Pihak sekolah segera mengambil tindakan dengan mewajibkan para siswa yang terlibat untuk menjalani tes darah guna memastikan bahwa mereka tidak terjangkit penyakit menular. Beberapa guru yang diduga mengetahui atau membiarkan kejadian ini terjadi telah dikenai sanksi skorsing sementara sambil menunggu hasil investigasi lebih lanjut.

Orangtua Murid Kecewa: “Bagaimana Bisa Ini Terjadi di Kelas?”

Pada Senin (3/3/2025), Ashley Armstrong, seorang ibu yang anaknya terlibat dalam kejadian tersebut, mengungkapkan kekecewaannya. Putranya, Jordan Armstrong (11 tahun), kini memiliki tato yang tertulis “I heart my lord” di lengannya dan inisial “JC” di tangannya. Ashley mengatakan bahwa tato tersebut menyebabkan luka yang serius pada kulit putranya, yang kini robek dan bernanah.

“Kami sangat khawatir, apalagi setelah mengetahui bahwa jarum yang digunakan untuk tato tersebut dipakai secara bergantian oleh banyak siswa,” kata Ashley dengan nada kecewa. Ia juga mempertanyakan mengapa tidak ada guru yang menyadari kejadian ini.

Beberapa orangtua lainnya juga mengungkapkan kekhawatiran mereka, bahkan ada yang menuduh bahwa tato tersebut dibuat di hadapan guru, meskipun hingga saat ini pihak sekolah belum memberikan konfirmasi terkait klaim tersebut.

Proses Investigasi Berlanjut, Guru-Guru Diberikan Sanksi

Jordan Armstrong telah menjalani tes darah dan hasilnya dinyatakan negatif terhadap penyakit menular. Namun, ia masih dijadwalkan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan dalam beberapa hari mendatang. Pihak sekolah dan otoritas pendidikan setempat tengah menyelidiki lebih lanjut insiden ini dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang di masa depan.

Pihak administrasi sekolah mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima laporan mengenai kejadian ini dan tengah melakukan investigasi yang lebih mendalam. Dalam pernyataan resmi, seorang perwakilan dari distrik pendidikan setempat menyatakan, “Kami menerima laporan tentang sekelompok siswa yang membuat tato menggunakan jarum yang sama. Ini sedang kami selidiki secara menyeluruh.”

Mereka juga menegaskan bahwa insiden semacam ini tidak dapat diterima dan tindakan disipliner akan diambil. “Kami sangat mengecam kejadian ini dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengidentifikasi semua siswa yang terlibat serta mengambil langkah-langkah untuk mencegah kejadian serupa di masa depan,” tambah pernyataan tersebut.

Penanganan ke Depan

Hingga saat ini, penyelidikan masih berlangsung untuk mengidentifikasi siapa saja yang bertanggung jawab atas insiden ini. Pihak sekolah dan otoritas terkait memastikan akan terus mengawasi perkembangan situasi dan memberikan pembaruan kepada masyarakat. Sementara itu, orangtua dan pihak sekolah berkomitmen untuk menjaga keamanan dan kesehatan siswa agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Keprihatinan terhadap insiden ini menunjukkan pentingnya pengawasan yang ketat di lingkungan sekolah, serta penguatan aturan yang dapat mencegah risiko kesehatan yang membahayakan bagi para siswa.

Categories
Berita Internasional Home

Misteri Kematian Bocah 3 Tahun Setelah Disuntik Dokter Magang: Flu, Buta, Hingga Tewas

Tragedi memilukan terjadi di Malaysia setelah seorang bocah perempuan berusia tiga tahun meninggal dunia usai menerima suntikan dari seorang dokter magang di salah satu rumah sakit. Sang ibu mengungkapkan kejadian ini melalui media sosial, mempertanyakan prosedur medis yang dilakukan terhadap putrinya.

Dilansir dari World of Buzz, Jumat (28/2/2025), peristiwa ini bermula ketika sang ibu membawa anaknya ke rumah sakit karena mengalami flu yang tak kunjung membaik. Namun, setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter menyatakan bahwa bocah tersebut mengalami dehidrasi dan perlu mendapatkan suntikan sebelum menjalani tes darah.

“Anakku sudah sangat lemah, lalu saya melihat dokter magang menyuntiknya tanpa anestesi atau persiapan apapun,” tulis sang ibu dalam unggahannya di media sosial.

Setelah mendapatkan suntikan pertama, kondisi anak tersebut berubah drastis. Dia mulai menangis, tubuhnya gemetar, dan dengan suara lirih mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada sang ayah, “Ayah, aku tidak bisa melihat apa-apa.” Situasi semakin memburuk ketika dokter magang lainnya diduga memberikan dua suntikan tambahan. Tak lama setelahnya, detak jantung bocah itu meningkat drastis. Tim medis segera meminta keluarga keluar dari ruangan untuk melakukan tindakan penyelamatan. Namun, upaya tersebut tidak berhasil, dan anak tersebut dinyatakan meninggal dunia pada pukul 09.00 waktu setempat.

Pihak rumah sakit menyatakan bahwa penyebab kematian bocah itu adalah infeksi bakteri. Namun, sang ibu mempertanyakan prosedur yang dilakukan, terutama terkait pemberian suntikan tanpa persetujuan orang tua. “Mengapa kalian memberinya suntikan booster? Awalnya kalian bilang itu obat, lalu menyebutnya booster. Kalian bahkan tidak meminta izin kami,” ungkapnya dengan penuh kekecewaan.

Tak hanya itu, ibu korban juga menyayangkan keputusan rumah sakit yang meminta keluarga keluar dari ruangan saat kondisi anaknya semakin kritis. Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak rumah sakit menawarkan untuk melakukan otopsi guna memastikan penyebab kematian. Namun, keluarga memilih untuk segera membawa jenazah anak mereka untuk dimakamkan.

Atas kejadian ini, ibu korban menyatakan akan menempuh jalur hukum terhadap rumah sakit yang menangani kasus ini. “Kepada dokter magang, berhentilah menghilangkan nyawa orang,” tulisnya dalam unggahan terakhirnya, mencerminkan rasa duka dan ketidakpuasan terhadap pelayanan medis yang diterima anaknya.

Tragedi ini pun memicu perdebatan publik mengenai standar prosedur medis dan pengawasan terhadap dokter magang di fasilitas kesehatan. Banyak pihak yang mendesak agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.

Categories
Berita Internasional Home

Prabowo dan AS: 100 Hari Pertama Pemerintahan Penuh Kemitraan Bilateral

Dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik yang terjalin antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS), Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan resmi yang sangat dinanti pada Selasa, 12 November 2024. Lawatan ini menjadi momen penting, mengingat hubungan kedua negara yang selama ini terjalin erat dalam berbagai sektor, dari ekonomi hingga geopolitik. Kunjungan ini juga merupakan salah satu agenda utama yang dimasukkan dalam 100 hari pertama masa kepemimpinan Presiden Prabowo, yang diharapkan dapat membawa dampak positif bagi hubungan bilateral.

Setibanya di Washington DC, Presiden Prabowo disambut dengan hangat oleh Presiden AS, Joe Biden, di Gedung Putih. Momen ini menjadi sorotan media internasional karena selain sebagai ajang pertemuan dua kepala negara, pertemuan ini juga menunjukkan keseriusan kedua negara dalam memperkuat kemitraan strategis yang telah lama terjalin. Pertemuan yang berlangsung selama sekitar satu jam tersebut membahas sejumlah isu penting, dengan fokus utama pada penguatan hubungan kedua negara di bidang pertahanan, ekonomi, serta isu-isu global.

Tanggapan Positif Presiden Prabowo terhadap Dukungan AS

Dalam sambutannya, Presiden Prabowo menyampaikan ucapan terima kasih atas sambutan hangat yang diberikan oleh Presiden Biden dan pemerintah AS. “Terima kasih, Presiden Biden, atas penerimaan hangat ini. Saya juga berterima kasih atas ucapan selamat yang Anda sampaikan melalui telepon setelah pemilu,” ujar Presiden Prabowo, seperti yang tercatat dalam laman resmi presidenri.go.id. Pernyataan tersebut menggambarkan hubungan yang semakin erat dan saling mendukung antara kedua negara.

Prabowo juga menegaskan bahwa selama ini Indonesia dan AS telah menjalin kemitraan yang saling menguntungkan, dan hubungan tersebut kini semakin kuat dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, pertahanan, serta kerjasama geopolitik yang sangat penting di kawasan Asia Pasifik.

Lima Kesepakatan Strategis yang Dicapai dalam Pertemuan Bilateral

Salah satu hasil penting dari kunjungan ini adalah tercapainya lima kesepakatan strategis yang akan memperkuat hubungan bilateral Indonesia-AS. Pertemuan antara Prabowo dan Biden membahas berbagai inisiatif yang akan membawa kedua negara semakin dekat dalam menangani isu-isu global. Beberapa poin penting yang disepakati antara lain:

  1. Komitmen untuk Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka
    Kedua negara sepakat untuk terus memperkuat stabilitas kawasan Indo-Pasifik, dengan ASEAN sebagai pusatnya. Hal ini mencerminkan upaya bersama untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan strategis tersebut.
  2. Krisis Iklim dan Upaya Bersama
    Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman hayati yang tinggi, diharapkan dapat menjadi aktor utama dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Kesepakatan ini memperlihatkan perhatian serius kedua negara terhadap isu lingkungan global.
  3. Penguatan Rantai Pasokan Global
    Dalam menghadapi tantangan ekonomi global, Indonesia dan AS sepakat untuk memperkuat rantai pasokan global yang aman dan tangguh guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
  4. Perdalam Kemitraan Strategis
    Fokus utama dari kesepakatan ini adalah memperdalam kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan regional, yang akan membawa kedua negara untuk saling memperkuat sistem pertahanan mereka dan menghadapi ancaman global bersama.
  5. Respons terhadap Isu-isu Global
    Beberapa isu internasional, termasuk situasi di Gaza dan ketegangan yang terus berkembang di Laut China Selatan, menjadi bagian dari pembahasan untuk menciptakan pendekatan yang kooperatif dalam mengatasi tantangan global.

Prosesi Penyambutan yang Megah di Gedung Putih

Kedatangan Presiden Prabowo di Gedung Putih juga disertai dengan prosesi penyambutan yang penuh kehormatan. Ia tiba pada pukul 14:09 waktu setempat, dengan iring-iringan mobil kepresidenan yang melintasi gerbang North West. Pasukan kehormatan yang membawa bendera 50 negara bagian AS memberikan penghormatan khusus kepada Presiden Indonesia. Setelah itu, Presiden Prabowo disambut oleh Penjabat Kepala Protokol AS, Ethan Rosenzweig, dan langsung diarahkan menuju Ruang Roosevelt untuk mengisi buku tamu kepresidenan, sebelum memasuki Oval Office untuk pertemuan penting dengan Presiden Joe Biden.

Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, dan Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya, yang mendampingi Prabowo dalam pertemuan tersebut. Dari pihak AS, hadir juga Asisten Presiden untuk Urusan Keamanan Nasional, Jake Sullivan, serta Duta Besar AS untuk Indonesia, Kamala Lakhdir, bersama sejumlah pejabat lainnya.

Menandai Era Baru Hubungan Indonesia-AS

Kunjungan Presiden Prabowo ke Amerika Serikat ini bukan sekadar peringatan atas hubungan diplomatik yang telah terjalin selama 75 tahun, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam memperkuat dan memperdalam kerja sama kedua negara di berbagai bidang. Momen ini menunjukkan bahwa Indonesia dan AS siap memasuki babak baru dalam hubungan mereka, dengan komitmen yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global.

Dengan tercapainya kesepakatan-kesepakatan strategis yang menguntungkan kedua belah pihak, hubungan Indonesia-AS akan semakin kokoh sebagai kemitraan strategis global. Kini, tantangan berikutnya adalah bagaimana implementasi dari kesepakatan-kesepakatan ini dapat diwujudkan secara konkret dalam langkah-langkah yang membawa manfaat bagi rakyat kedua negara. Seiring berjalannya waktu, hanya waktu yang dapat mengungkap bagaimana kemitraan ini akan berkembang dan memberikan dampak positif bagi dunia internasional.

Categories
Berita Internasional Home

Drama di Gedung Putih! Zelensky Diusir, AS Tetap Minta Maaf

Hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Ukraina kembali diperburuk setelah insiden cekcok mulut antara Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dan Presiden AS, Donald Trump, yang terjadi di Ruang Oval, Gedung Putih pada Jumat (28/2). Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa Zelensky seharusnya meminta maaf atas kekacauan yang ditimbulkan selama pertemuan tersebut.

Rubio menilai pertemuan antara kedua pemimpin negara itu sebagai sebuah kegagalan. Menurutnya, sikap agresif yang ditunjukkan Zelensky selama diskusi mengenai perdamaian dengan Rusia justru semakin memperburuk situasi. “Dia tidak perlu datang dan bertindak antagonis. Jika Anda memulai pembicaraan dengan sikap agresif, terutama dengan seorang Presiden yang dikenal sebagai pembuat kesepakatan, itu tidak akan menciptakan kondisi yang mendukung negosiasi,” ujar Rubio.

Pernyataan Rubio semakin menegaskan ketegangan yang melanda hubungan antara AS dan Ukraina, yang semakin memanas setelah momen penting ini. Rubio bahkan mempertanyakan keseriusan Zelensky dalam mencapai perdamaian dengan Rusia, yang hingga saat ini masih menduduki sebagian wilayah Ukraina. “Zelensky mengatakan bahwa dia menginginkan perdamaian, tapi apakah dia benar-benar menginginkannya? Mungkin saja tidak,” tambah Rubio.

Pertemuan yang dimaksud berlangsung setelah kedatangan para pemimpin Inggris dan Prancis di Washington, yang bertujuan untuk mendesak AS agar memainkan peran lebih aktif dalam menengahi konflik Ukraina-Rusia. Namun, pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil yang memadai, baik mengenai akses AS terhadap mineral tanah jarang Ukraina maupun mengenai potensi perjanjian damai dengan Rusia.

Insiden Memanas di Ruang Oval

Insiden cekcok yang terjadi di Gedung Putih bermula saat Zelensky dan Trump bertemu untuk mendiskusikan perjanjian yang mencakup akses Amerika Serikat ke sumber daya mineral tanah jarang Ukraina serta jaminan keamanan bagi Ukraina. Namun, ketegangan mulai muncul ketika pembicaraan beralih ke topik perundingan damai dengan Rusia.

Trump, bersama dengan Wakil Presiden AS, JD Vence, mulai berteriak kepada Zelensky, menuduhnya tidak bersyukur atas bantuan yang diberikan AS selama tiga tahun terakhir. Situasi semakin memanas ketika Trump mengancam untuk menarik diri dari Ukraina, yang selama ini telah menjadi sekutu utama bagi Amerika Serikat. “Ukraina harus membuat kompromi dalam perundingan damai dengan Rusia,” kata Trump, menuntut agar negara tersebut mempertimbangkan negosiasi dengan pihak yang telah menginvasi wilayah mereka.

Namun, Zelensky dengan tegas menolak ide tersebut. “Tidak ada kompromi dengan pembunuh di tanah kami,” tegasnya, merujuk pada pasukan Rusia yang telah menduduki sebagian wilayah Ukraina. Respons keras dari Zelensky semakin memperburuk suasana di Ruang Oval.

Di tengah ketegangan tersebut, media AS melaporkan bahwa pejabat tinggi pemerintahan Trump, setelah melihat suasana yang semakin tegang, meminta Zelensky untuk meninggalkan Gedung Putih. Meskipun ada keinginan dari pihak Ukraina untuk melanjutkan pembicaraan, Zelensky akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari Washington, meninggalkan ruang pertemuan yang seharusnya menjadi ajang dialog penting bagi kedua negara.

Ketegangan yang Menyudutkan Ukraina

Pernyataan Marco Rubio dan kejadian di Gedung Putih tersebut menandai kemunduran yang signifikan dalam hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Ukraina. Ketegangan yang berkembang menjadi insiden seperti ini semakin memperburuk posisi Ukraina di mata dunia internasional. Sementara itu, AS, di bawah pemerintahan Trump, terus mempertanyakan komitmen Ukraina terhadap perundingan damai, yang membuat banyak pihak bertanya-tanya mengenai langkah selanjutnya dalam upaya perdamaian di wilayah tersebut.

Ke depan, tampaknya akan lebih banyak tantangan bagi Ukraina untuk mendapatkan dukungan internasional, terutama dari AS, dalam menghadapi Rusia yang semakin memperbesar cengkeramannya di wilayah Ukraina. Di sisi lain, langkah-langkah strategis dan diplomatik yang akan diambil oleh kedua negara besar ini akan sangat menentukan masa depan hubungan mereka dan proses perdamaian yang diharapkan dapat tercapai.

Categories
Berita Internasional Home

Ukraina Butuh F-35, AS Incar Cadangan Mineral Langkanya

Dalam dinamika geopolitik yang semakin kompleks, Ukraina dikabarkan meminta jet tempur siluman F-35 dari Amerika Serikat (AS) sebagai imbalan atas akses terhadap cadangan mineral tanah langka mereka. Permintaan ini muncul di tengah negosiasi kesepakatan strategis antara Washington dan Kyiv, yang memungkinkan AS mendapatkan 50 persen pendapatan ekstraksi mineral dari tanah Ukraina.

Kesepakatan tersebut dijadwalkan akan diteken dalam kunjungan Presiden Volodymyr Zelensky ke Washington pada 28 Februari 2025, dan akan membentuk Dana Investasi Rekonstruksi untuk Ukraina. Namun, yang menjadi perhatian adalah ketiadaan jaminan keamanan eksplisit dari AS dalam perjanjian ini, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Kyiv mungkin menyerahkan sumber daya strategisnya tanpa jaminan perlindungan nyata dari Washington.

Seorang prajurit Garda Nasional Ukraina bernama Ivan mengungkapkan keraguannya terhadap peta jalan perdamaian yang diusulkan oleh AS.

“Saat ini, saya tidak melihat ada rencana nyata untuk perdamaian,” ujar Ivan kepada Euromaidan Press.

Dilema Strategis: AS, Rusia, dan Perang yang Belum Berakhir

Ivan juga menyoroti kemungkinan strategi yang digunakan oleh Presiden AS Donald Trump dalam menangani konflik ini.

“Trump memiliki pendekatan tersendiri—bukan untuk menghentikan perang, melainkan untuk menekan kedua belah pihak agar mencapai gencatan senjata, mirip dengan Perjanjian Minsk yang dulu gagal.”

Komentar Ivan merujuk pada Perjanjian Minsk 2014 dan 2015, yang dimaksudkan untuk mengakhiri konflik di Ukraina timur tetapi justru memberi Rusia waktu untuk memperkuat posisinya. Menurutnya, skenario serupa mungkin terulang kembali, terutama dengan AS yang mengurangi bantuan militer kepada Ukraina sambil meningkatkan tekanan ekonomi terhadap Rusia.

Namun, Ivan juga mengakui bahwa sanksi ekonomi terhadap Moskow telah mencapai batas efektivitasnya, sehingga opsi untuk menekan Rusia semakin terbatas.

Di sisi lain, Zelensky sebelumnya menolak untuk menandatangani kesepakatan mineral langka dengan AS, menegaskan bahwa ia tidak akan menjual negaranya. Namun, dengan tekanan politik yang semakin besar dari Washington, posisi Ukraina tampaknya mulai melunak.

“Jika Trump menginginkan mineral kami, biarkan dia mengambilnya. Tapi sebagai gantinya, berikan kami F-35,” ujar Ivan. “Itu akan cukup untuk merebut kembali Donbas—setidaknya secara teori.”

Janji Keamanan yang Tak Kunjung Terpenuhi

Bagi banyak prajurit Ukraina, ketidakpastian mengenai komitmen keamanan AS menjadi perhatian utama. Sejarah mencatat bahwa Memorandum Budapest—di mana Ukraina menyerahkan persenjataan nuklirnya pada 1994 dengan imbalan jaminan keamanan dari AS, Inggris, dan Rusia—tidak pernah benar-benar ditepati.

Volodymyr, seorang instruktur perang elektronik di Angkatan Bersenjata Ukraina, menegaskan bahwa bukan Ukraina yang berutang kepada AS, tetapi justru sebaliknya.

“Beri tahu Trump dan [Penasihat Keamanan Nasional AS] Michael Waltz bahwa AS yang berutang kepada Ukraina, karena gagal memenuhi Memorandum Budapest,” tegasnya.

Sementara itu, Trump telah memulai perundingan damai dengan Rusia di Riyadh, tanpa melibatkan perwakilan Ukraina. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa gencatan senjata yang ditengahi AS mungkin hanya memberi Rusia waktu untuk kembali memperkuat militernya.

Kyrylo Budanov, Kepala Intelijen Ukraina, memperingatkan bahwa tujuan Rusia tetap tidak berubah.

“Rusia akan melakukan segala cara untuk mencaplok Ukraina. Mereka membutuhkan wilayah dan populasi kami. Tanpa Ukraina, kekaisaran Rusia tidak bisa bertahan.”

Pandangan Pasukan Garis Depan: Perang Belum Bisa Diakhiri

Di garis depan pertempuran, banyak prajurit Ukraina tidak percaya pada skenario gencatan senjata yang melibatkan konsesi wilayah.

Illia, seorang sersan kepala yang telah bertugas sejak 2014, mengungkapkan keraguannya terhadap solusi damai yang ditawarkan.

“Jaminan keamanan seperti apa yang bisa diberikan? Apakah pasukan AS akan datang dan menghentikan Rusia? Saya ragu.”

Keraguan ini semakin diperkuat oleh pengalaman pasukan Ukraina yang sering kali merasa kurang mendapat dukungan dari sekutu Barat.

“Kami bekerja sama dengan orang-orang dari Inggris, Amerika, dan Eropa. Ketika kami kalah jumlah dan Rusia menghujani kami dengan artileri, mereka bertanya, ‘Di mana bantuan kita?’ Dan kami harus menjawab, ‘Tidak ada. Kita bertahan, bergerak, dan bertempur dengan apa yang kita miliki. Mungkin bantuan udara akan datang—mungkin juga tidak.’”

Sementara itu, Eduard, seorang teknisi perang elektronik dari Brigade Mekanik ke-65 Ukraina, menduga bahwa Trump telah mencapai kesepakatan rahasia dengan Rusia.

“Trump tidak paham apa itu perang. Dia tidak mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang-orang terkasih. Dia hidup di dunianya sendiri yang tidak bisa dipahami. Saya yakin dia telah membuat kesepakatan dengan Rusia. Mereka hanya mengulur waktu, sementara kami dibiarkan begitu saja,” pungkasnya.

Kesimpulan: Ukraina di Persimpangan Jalan

Dengan kesepakatan mineral langka dan permintaan jet tempur F-35 sebagai bagian dari negosiasi, Ukraina kini menghadapi dilema besar.

Apakah Zelensky akan mengorbankan sumber daya strategis negaranya demi mendapatkan perlengkapan militer canggih? Atau justru Trump yang akan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan politiknya sendiri?

Yang jelas, bagi prajurit Ukraina di medan perang, tidak ada ruang untuk kompromi jika itu berarti kehilangan kedaulatan mereka.

Konflik ini masih jauh dari kata selesai, dan dunia akan terus mengamati bagaimana negosiasi berisiko tinggi ini berkembang di bulan-bulan mendatang. 🚨🔥

Categories
Berita Internasional Home

Senjata Nuklir Prancis Bakal Ditempatkan di Jerman dan Eropa?

Prancis dikabarkan siap untuk memperluas perlindungan nuklirnya ke negara-negara Uni Eropa, termasuk dengan menempatkan jet tempur bersenjata nuklir di Jerman. Kabar ini pertama kali dilaporkan oleh The Telegraph pada Selasa (25/2/2025), mengutip pernyataan dari seorang pejabat Prancis yang tidak disebutkan namanya.

Laporan ini muncul setelah Friedrich Merz, pemimpin partai CDU yang baru saja memenangkan pemilu parlemen Jerman, menyerukan agar Prancis dan Inggris memperluas perlindungan nuklir mereka ke Jerman. Seruan ini memicu spekulasi tentang kemungkinan integrasi kekuatan nuklir Eropa di luar pengaruh NATO.

Prancis dan Payung Nuklir Eropa

Saat ini, Prancis memiliki sekitar 300 hulu ledak nuklir yang beroperasi secara independen dari NATO, berbeda dengan Inggris yang mengintegrasikan kemampuan nuklirnya ke dalam strategi pertahanan aliansi militer pimpinan Amerika Serikat (AS).

Menurut sumber diplomatik Jerman, diskusi resmi mengenai pengerahan senjata nuklir Prancis di Uni Eropa belum dimulai. Selain itu, permintaan untuk memperkuat perlindungan nuklir di kawasan tersebut tampaknya tidak akan diajukan kecuali AS menarik pasukan dan senjata nuklirnya dari Jerman.

Meskipun demikian, CDU yang dipimpin Merz disebut tertarik dengan konsep “payung nuklir” dan bersedia membiayainya. Langkah ini juga dapat memberikan tekanan bagi Inggris untuk mengikuti kebijakan serupa.

Seorang pejabat Prancis yang diwawancarai oleh The Telegraph menyatakan bahwa penempatan jet tempur bersenjata nuklir di Jerman bukanlah hal sulit dan dapat menjadi sinyal kuat bagi Rusia. Pernyataan ini muncul di tengah kekhawatiran beberapa pemimpin Uni Eropa mengenai potensi ancaman dari Moskow, meskipun Kremlin telah berkali-kali membantah niat untuk menyerang Eropa.

Respons Macron dan Sikap AS

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron telah membahas rencana keamanan Eropa ini dengan Friedrich Merz, serta menyampaikannya kepada Presiden AS Donald Trump.

Trump sebelumnya menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan lagi menjamin keamanan Ukraina setelah kesepakatan damai tercapai, yang memicu kekhawatiran di kalangan sekutu Eropa.

Selama beberapa tahun terakhir, Macron secara aktif mendorong Uni Eropa untuk meningkatkan kapasitas pertahanannya sendiri, termasuk dengan mengembangkan rencana militer besar-besaran, meningkatkan anggaran pertahanan, dan membentuk tentara Eropa.

Di sisi lain, Trump kerap mengkritik negara-negara anggota NATO di Eropa yang dianggap tidak berkontribusi cukup dalam pembiayaan pertahanan bersama. Ia bahkan pernah mengancam untuk menarik perlindungan AS bagi negara-negara yang gagal memenuhi kewajiban anggaran pertahanan mereka.

Rusia: NATO Penyebab Eskalasi Ketegangan

Rusia telah berulang kali menegaskan tidak memiliki rencana untuk menyerang NATO, dengan Presiden Vladimir Putin menyebut spekulasi semacam itu sebagai “omong kosong”.

Moskow juga tetap berpegang pada komitmen nonproliferasi nuklir, dengan doktrin militernya hanya mengizinkan penggunaan senjata nuklir dalam kondisi ekstrem, seperti jika kedaulatan atau keberadaan negara terancam.

Kremlin terus mengkritik ekspansi NATO yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama konflik di Ukraina. Mereka menuding langkah-langkah militer Barat sebagai bentuk provokasi yang memperburuk situasi keamanan di Eropa.

Dengan perkembangan ini, masa depan keamanan Eropa tampak semakin dinamis. Jika Prancis benar-benar memperluas pengaruh nuklirnya ke Jerman dan negara Uni Eropa lainnya, bagaimana reaksi dari Rusia, NATO, dan AS? Semua mata kini tertuju pada kebijakan yang akan diambil oleh para pemimpin dunia dalam menghadapi perubahan lanskap pertahanan global.